Sabtu, 19 November 2016

Tinjauan Filsfat Pendidikan Islam Terhadap Pendidik dan Anak Didik



TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM TERHADAP
PENDIDIK DAN ANAK DIDIK
Makalah ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Eriksan, M.Pd.I


Disusun Oleh :
Adela Puspita            : 1611050413
Cynthia Gapila          : 1611050216
M. Sukma Wijaya     : 1611050294

PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
1438 H/2016 M





KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-Nya sehingga kami dapat merampungkan penyusunan makalah Filsafat Pendidikan Islam dengan judul "Tinjauan Filsafat Pendidikan Islam Terhadap Pendidik Dan Anak Didik" tepat pada waktunya. Penyusunan makalah semaksimal mungkin kami upayakan dan didukung bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam merampungkan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan lapang dada kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi saran maupun kritik demi memperbaiki makalah ini. Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini dapat diambil manfaatnya dan besar keinginan kami dapat menginspirasi para pembaca untuk mengangkat permasalahan lain yang relevan pada makalah-makalah selanjutnya.


Bandar Lampung, Oktober 2016

Penyusun





DAFTAR ISI

COVER........................................................................................................ i
KATA PENGANTAR................................................................................ ii
DAFTAR ISI............................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang................................................................................ 1
B.     Rumusan Masalah........................................................................... 2
C.     Tujuan.............................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian dan Hakikat Pendidik................................................... 3
1.      Pengertian Pendidik.................................................................... 3
2.      Hakikat Pendidik........................................................................ 5
B.     Pengertian dan Hakikat Anak Didik............................................... 9
1.      Pengertian Anak Didik............................................................... 9
2.      Hakikat Anak Didik................................................................. 10
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan.................................................................................... 16
B.     Saran.............................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA





BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pendidik dan peserta didik merupakan komponen penting dalam sistem pendidikan Islam. Kedua komponen ini saling berinteraksi dalam proses pembelajaran untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan. Oleh karena itu, pendidik sangat berperan besar sekaligus menentukan ke mana arah potensi peserta didik yang akan dikembangkan. Demikian pula peserta didik, ia tidak hanya sekedar objek pendidikan, tetapi pada saat-saat tertentu ia akan menjadi subjek pendidikan. Hal ini membuktikan bahwa posisi peserta didik pun tidak hanya sekedar pasif laksana cangkir kosong yang siap menerima air kapan dan dimanapun. Akan tetapi peserta didik harus aktif, kreatif dan dinamis dalam berinteraksi dengan gurunya, sekaligus dalam upaya pengembangan keilmuannya.
Konsep pendidik dan peserta didik dalam perspektif pendidikan Islam memiliki karakteristik tersendiri yang sesuai dengan karakteristik pendidikan Islam itu sendiri. Karakteristik ini akan membedakan konsep pendidik dan peserta didik dalam pandangan pendidikan lainnya. Hal itu juga dapat ditelusuri melalui tugas dan persyaratan ideal yang harus dimiliki oleh seorang pendidik dan peserta didik yang dikehendaki oleh Islam. Tentu semua itu tidak terlepas dari landasan ajaran Islam itu sendiri, yaitu al-Qur’an dan Sunnah yang menginginkan perkembangan pendidik dan peserta didik tidak bertentangan dengan ajaran kedua landasan tersebut sesuai dengan pemahaman maksimal manusia.
Jika karakteristik yang diinginkan oleh pendidikan Islam tersebut dapat dipenuhi, maka pendidikan yang berkualitas niscaya akan dapat diraih. Untuk itu, kajian dan analisis filosofis sangat dibutuhkan dalam merumuskan konsep pendidik dan peserta didik dalam perspektif


pendidikan Islam sehingga diperoleh pemahaman yang utuh tentang kedua komponen tersebut. Makalah yang sederhana ini akan menguraikan tentang analisis filosofis tentang pendidik dan peserta didik dalam perspektif filsafat pendidikan Islam. Diharapkan makalah ini menjadi bahan diskusi lebih lanjut agar dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang kedua komponen itu sehingga berguna dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan secara efektif dan efisien.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian dan Hakikat Pendidik?
2.      Apa Pengertian dan Hakikat Anak Didik?

C.    Tujuan
1.      Mengetahui Pengertian dan Hakikat Pendidik.
2.      Mengetahui Pengertian dan Hakikat Anak Didik.





BAB II
PEMBAHASAN

            A.    Pengertian dan Hakikat Pendidik
1.      Pengertian Pendidik
Kata pendidik berasal dari didik, artinya memelihara, merawat dan memberi latihan agar seseorang memiliki ilmu pengetahuan seperti yang diharapkan (tentang sopan santun, akal budi, akhlak, dan sebagainya) selanjutnya dengan menambahkan awalan pe- hingga menjadi pendidik, artinya orang yang mendidik. Dalam bahasa Arab pendidik diartikan dalam berbagai istilah seperti kata al-mualim (guru), murabbi (mendidik), mudarris (pengajar) dan uztadz.  Pendidikan adalah suatu bentuk interaksi manusia. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, pendidik artinya orang yang mendidik.[1] Dalam bahasa Inggris ada beberapa kata yang berdekatan arti pendidik seperti kata teacher artinya pengajar dan tutor yang berarti guru pribadi, di pusat-pusat pelatihan disebut sebagai trainer atau instruktur. Menurut pendapat lain pendidik adalah orang dewasa yang bertanggung jawab memberi bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai kedewasaannya, mampu melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Allah, khalifah di permukaan bumi, sebagai makhluk sosial dan sebagai individu yang sanggup berdiri sendiri.[2] Pendidik dapat pula berarti orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan dan kematangan aspek rohani dan jasmani anak.[3]


Menurut Ahmad Tafsir, bahwa pendidik dalam Islam adalah orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik dengan upaya mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif (rasa), kognitif (cipta), maupun psikomotorik (karsa).[4] Sedangkan Abdul Mujib mengemukakan bahwa pendidik adalah bapak rohani (spiritual father) bagi peserta didik, yang memberikan santapan jiwa dengan ilmu, pembinaan akhlak mulia, dan meluruskan prilakunya yang buruk.[5]
Secara umum dijelaskan pula oleh Maragustam Siregar, yakni orang yang memberikan ilmu pengetahuan, pengalaman, keterampilan dan lain-lain baik di lingkungan keluarga, masyarakat maupun di sekolah.[6] Di dalam ilmu pendidikan, yang dimaksud pendidik adalah semua yamg mempengaruhi perkembangan seseorang.[7]
Perkembangan tersebut meliputi seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif, kognitif, maupun psikomotorikPotensi ini sedemikan rupa dikembangkan secara seimbang sampai mencapai tingkat yang optimal. Sebagai seorang pendidik disini harus memberikan contoh yangg baik agar anak didiknya dengan mudah meniru apa yang dilakukan oleh pendidiknya.[8]
Dari beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa pendidik dalam Islam adalah orang yang mempunyai tanggung jawab dan mempengaruhi jiwa serta rohani seseorang yakni dari segi pertumbuhan jasmaniah, pengetahuan, keterampilan, serta aspek spiritual dalam upaya perkembangan seluruh potensi yang dimiliki oleh seseorang tersebut sesuai dengan prinsip dan nilai ajaran Islam sehingga menjadi insan yang berakhlakul karimah.

2.      Hakikat Pendidik
Hakikat pendidik sebagai manusia yang memahami ilmu pengetahuan sudah barang tentu dan menjadi sebuah kewajiban baginya untuk mentransferkan ilmu itu kepada orang lain demi kemaslahatan ummat. Hakikat pendidik ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Alaq (96) ayat 1-5 yang artinya : “Bacalah dengan menyebut nama Tuhan mu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Dalam Al-Qur’an hakikat guru adalah Allah SWT, namun tidak berarti manusia di dunia ini tidak mempunyai tugas sebagai khalifah di muka bumi ini, tugas manusia salah satunya adalah mengajarkan ilmu yang telah diperolehnya kepada orang lain, dengan kata lain dia sebagai seorang guru.[9]
Jika ditinjau secara umum pendidik dalam pendidikan Islam kaitannya lebih luas dari pada pendidik dalam pendidikan non-Islam, adapun pendidik dalam pendidikan Islam yaitu :
1.      Allah SWT, dari berbagai ayat al-Qur’an yang membicarakan tentang kedudukan Allah sebagai pendidik dapat dipahami dalam firman-firman yang diturunkannya kepada Nabi Muhammad SAW.
2.      Nabi Muhammad SAW, Kedudukan Rasulullah SAW sebagai pendidik ditunjuk langsung oleh Allah SWT, sebagai teladan bagi ummat dan rahmat bagi seluruh alam. Dari sejarahnya, Beliau dikenal sebagai manusia yang paling berakhlak dan dipatuhi sehingga dalam masa kehidupannya sukses mendidik generasi-generasi Islam. Sebagai seorang pendidik ummat manusia yang mengajarkan agama Islam dan ketauhidan serta etika berkehidupan, Rasulullah Saw. memiliki kepribadian dan akhlak yang sangat mulia, yang pantas dijadikan teladan bagi seluruh ummat manusia, hal tersebut senantiasa tercermin dalam kehidupannya.
3.      Orang Tua, memiliki peran yang sangat penting yang berperan sebagai sebagai pembimbing dalam lingkungan keluarga disebabkan karena secara alami anak-anak pada masa awal kehidupannya berada ditengah-tengah ayah dan ibunya.[10] Menurut Hasan Basri dan Beni Ahmad Saebani, tanggung jawab terbesar pendidikan Islam menurut ajaran Islam dipikul oleh orang tua anak, karena orang tualah yang menentukan pola pembinaan pertama bagi anak.[11]
4.      Guru, merupakan suri teladan kedua setelah orang tua.[12] Guru sejatinya adalah seorang pribadi yang harus serba bisa dan serba tahu, serta mampu mentransferkan kebiasaan dan pengetahuan pada muridnya dengan cara yang sesuai dengan perkembangan dan potensi anak didik. Guru yang bekerja sebagai tenaga pengajar adalah elemen yang terpenting dan ikut bertanggung jawab dalam proses pendewasaan bagi anak didik tersebut. Dari beberapa pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa guru dapat diartikan sebagai sosok yang mempunyai kewenangan dan bertanggung jawab sepenuhnya di kelas atau di sekolah untuk mengembangkan segenap potensi peserta didik yang dimiliki sehingga mampu mandiri dan mengembangkan nilai kepribadian sesuai ajaran Islam, dengan demikian tujuan akhirnya adalah kedewasaan dan kesadaran untuk melaksanakan tugasnya sebagai khalifah dan hamba Allah Swt. Oleh karena itu, setiap guru hendaknya mempunyai kepribadian yang akan dicontoh dan diteladani oleh anak didik, baik secara sengaja maupun tidak. Sudah pasti, pekerjaan sebagai guru tidak sama dengan pekerjaan apapun, diluar itu pengetahuan dan keterampilan yang akan diajarkan.[13]

Seorang pendidik merupakan manusia pilihan yang bukan hanya memiliki kelebihan ilmu pengtahuan, melainkan juga memiliki tanggung jawab yang berat dalam melakukan tugas dan fungsinya sebagai pendidik yang harus menguasai ilmu dalam mengajar anak didiknya dengan cara yang profesional, sabar dan tertuju pada pencapaian keberhasilan di dunia dan di akhirat. Seorang pendidik harus memiliki syarat-syarat sebagai berkut :
a.    Beriman kepada Allah dan beramal shaleh.
b.    Menjalankan ibadah dengan  taat.
c.    Memiliki sikap pengabdian yang tinggi pada dunia pendidikan.
d.   Ikhlas dalam menjalankan tugas pendidikan.
e.    Profesional dalam menjalankan tugasnya.
f.     Menguasai ilmu yang diajarkan kepada anak didiknya.
g.    Tegas dan berwibawa dalam menghadapi masalah yang dialami anak didiknya.
h.    Mampu menggunakan metode mengajar yang bervariasi dan menguasainya dengan baik.[14]

Pendidik merupakan potensi pedagosis yang mengarahkan perkembangan hidup anak didik.[15] Pendidik memiliki kedudukan yang sangat penting dalam pelaksanaan pendidikan, karena pendidik adalah pihak yang bersentuhan langsung dengan unsur- unsur yang ada dalam sebuah aktivitas pendidikan, terutama anak didik. Sebagai wujud dari kedudukan yang sangat penting tersebut, fungsi pendidik adalah berupaya untuk mengembangkan segenap potensi anak didiknya, agar memiliki kesiapan dalam menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupannya.[16]
Seorang pendidik harus bisa menguasai situasi dan kondisi agar tidak jenuh dalam  berlangsungnya proses pendidikan, maka dari itu ada beberapa hal yang harus diperhatikan.[17] Antara lain :
a.       Selalu berbicara dengan bahasa yang santun.
b.      Selalu mendengarkan pendapat anak didiknya.
c.       Mengarahkan dan mengembangkan minat dan bakat anak didiknya.
d.      Berpakaian rapi dan sopan.
e.       Selalu datang tepat waktu.
f.       Memberikan pelajaran dengan metode yang tepat.
g.      Senantiasa memberikan peluang dan kesempatan kepada anak didiknya untuk bertanya.
h.      Sabar dalam menghadapi kenakalan anak didiknya.
i.        Memahami perkembangan mental dan emosional anak didiknya, membimbing, mengarahkan dan memotivasi anak didiknya.
j.        Menciptakan situasi untuk pendidikan. Situasi pendidikan yaitu suatu keadaan dimana tindakan-tindakan pendidikan dapat berlangsung dengan baik dan hasil yang memuaskan.[18]
Adapun peran pendidik dalam menyikapi tantangan globalisasi adalah berusaha secara sadar untuk membimbing, mengajar, dan melatih siswa agar dapat:
a.       Meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT yang telah ditanamkan dalam lingkungan keluarga.
b.      Menangkal dan mencegah pengaruh negatif dari kepercayaan paham atau budaya lain yang membahayakan dan menghambat perkembangan pola pikir dan keyakinan siswa.
c.       Memperkenalkan secara transparan contoh positif dan negatif dari pengaruh iptek kepada anak.
d.      Pendidik selalu mengontrol kepada anak didik dan sekaligus sebagai agent of change dalam menggunakan iptek.
e.       Menyalurkan bakat dan minatnya dalam mendalami bidang agama serta mengembangkannya secara optimal, sehingga dapat dimanfaatkan untuk dirinya sendiri dan dapat pula bermanfaat bagi orang lain.


            B.     Pengertian dan Hakikat Anak Didik
1.      Pengertian Anak Didik
Anak didik menurut etimologi berasal dari bahasa Bahasa Inggris: student artinya murid, dan berasal Bahasa Arab: tilmidz jamaknya talamidz artinya murid, thalib al-ilm  artinya menuntut ilmu, pelajar, atau mahasiswa. Sedangkan dilihat dari kedudukannya, anak didik adalah makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing. Meraka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju kearah titik optimal kemampuan fitrahnya.[19]
Anak didik atau peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi dasar (fitrah) yang perlu dikembangkan.[20] Peserta didik merupakan “ Raw Material” (Bahan Mentah) dalam proses transformasi dan internalisasi, menepati posisi yang sangat penting untuk melihat signifikasinya dalam menemukan keberhasilan sebuah proses. Peserta didik adalah makhluk individu yang mempunyai kepribadian dengan ciri-ciri yang khas yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangannya. Pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dipengaruhi oleh lingkungan dimana ia berada.[21] Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Peserta didik sebagai komponen yang tidak dapat terlepas dari sistem pendidikan sehingga dapat dikatakan bahwa peserta didik merupakan obyek pendidikan tersebut.
Dalam paradigma pendidikan Islam, peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan.[22] Jadi secara sederhana peserta didik dapat didefinisikan sebagai individu yang belum memiliki kedewasaan dan memerlukan orang lain untuk mendidiknya sehingga menjadi individu yang dewasa, memiliki jiwa spiritual, aktifitas dan kreatifitas sendiri. Dengan demikian peserta didik adalah individu yang memiliki potensi untuk berkembang, dan mereka berusaha mengembangkan potensinya itu melalui proses pendidikan pada jalur dan jenis pendidikan tertentu.
2.      Hakikat Anak Didik
Anak didik merupakan salah satu komponen terpenting dalam pendidikan, tanpanya proses pendidikan tidak akan terlaksana. Anak didik merupakan subjek dan objek pendidikan yang memerlukan bimbingan orang lain (pendidik) untuk membantu mengarahkannya mengembangkan potensi yang dimilikinya, serta membimbingnya menuju kedewasaan.[23] Karena seorang anak didik yang ingin mendapatkan ilmu itu memerlukan bimbingan, pengarahan, dan petunjuk dari orang lain (seorang pendidik), maka muncul pula etika pergaulan yang baik yang harus dilakukan oleh seorang anak didik kepada pendidiknya.
Potensi merupakan kemampuan dasar yang dimiliki anak didik, dan tidak akan tumbuh atau berkembang secara optimal tanpa bimbingan pendidik.[24] Dalam memahami hakikat anak didik, para pendidik perlu dilengkapi pemahaman tentang ciri-ciri umum anak didik, yaitu:
a.    Anak didik dalam keadaan sedang berdaya (eksploratif), yaitu berdaya untuk menggunakan kemampuan, kemauan dan sebagainya.
b.    Mempunyai keinginan untuk berkembang kea rah dewasa.
c.    Anak didik mempunyai latar belakang yang berbeda.
d.   Anak didik melakukan penjelajahan terhadap lingkungan terhadap alam sekitarnya dengan potensi-potensi dasar yang dimiliki secara individu. (Abdurrahman Shaleh, 1981:86).[25]
Asma Hsan Fahmi menyebutkan empat akhlak yang harus dimiliki anak didik, yaitu ;
1.    Seorang anak didik harus membersihkan hatinya dari kotoran dan penyakit jiwa yang sebelum ia menuntut ilmu, karena belajar adalah merupakan ibadah yang tidah sah dikerjakan kecuali dengan hati yang bersih. Kebersihan hati tersebut dapat dilakukan dengan menjauhkan diri dari sifat-sifat yang tercela, seperti  dengki, benci, hassut, takabbur, menipu, berbangga-bangga, dan memuji diri yang selanjutnya diikiuti dengan menghiasi diri dengan akhlak yang mulia seperti bersikap benar, taqwa, ikhlas zuhud, merendahkan diri dan ridha.

2.    Seorang anak didik harus mempunyai tujuan menuntut ilmu dalam rangka menghiasi jiwa dengan dengan sifat keutamaan, mendekatkan diri kepada tuahn, dan bukan untuk mencari kemegahan dan kedudukan.

3.    Seorang pelajar harus tabah dalam memperoleh ilmu pengetahuan dan bersedia pergi merantau. Selanjutnya apabila ia menghendaki pergi ke tempat yang jauh untuk memperoleh seorang guru, maka ia tidak boleh ragu-ragu untuk itu. Demikian pula ia dinasihatkan agar tidak sering menukar-nukar guru. Jika keadan menghendaki sebaiknya ia dapat menanti sampai dua bulan sebelum menukar seorang guru.

4.    Seorang pelajar wajib menghoramati guru dan berusaha agar senantiasa memperoleh kerelaan dari guru, dengan mempergunakan bermacam-macam cara.[26]

Sejalan dengan tujuan pendidikan sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT, maka belajar termasuk ibadah. Dengan dasar pemikiran ini, maka Imam Al-Ghozali menyatakan bahwa seorang murid yang baik, adalah murid yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a.       Seorang murid harus berjiwa bersih, terhindar dari budi pekerti yang hina dan sifat-sifat yang tercela lainnya.
b.      Seorang murid yang baik, juga harus menjauhkan diri dari persoalan-persoalan duniawi, mengurangi keterkaitan dengan dunia, karena keterkaitan kepada dunia dan masalah-masalahnya dapat mengganggu lancarnya pengusaan ilmu.
c.       Seorang murid yang baik hendaknya bersikap rendah hati dan tawadhu. Sikapini begitu ditekankan oleh Al-Ghozali.
d.      Khusus terhadap murid yang baru hendaknya jangan mempelajari ilmu-ilmu yang saling berlawanan, atau pendapat yang saling berlawanan atau bertentangan.
e.       Seorang murid yang baik hendaknya mendahulukan mempelajari yang wajib. Pengetahuan yang menyangkut berbagai segi (aspek) lebih baik daripada pengetahuan yang menyangkut hanya satu segi saja.
f.       Seorang murid yang baik hendaknya mempelajari ilmu secara bertahap. Seorang murid dinasehatkan agar tidak mendalamiilmu secara sekaligus, tetapi memulai dariilmu-ilmu agama dan menguasainya dengan sempurna.
g.      Seorang murid hendaknya tidak mempelajari satu disiplin ilmu sebelum mengusai disiplin ilmu sebelumnya.
h.      Seorang murid hendaknya juga mengenal nilai setiap ilmu yang dipelajarinya. Kelebihan dari masing-masing ilmu serta hhasil-hasilnya yang mungkin dicapai hendaknya dipelajarinya dengan baik.[27]

Beberapa hal yang perlu dipahami mengenai karakteristik peserta didik adalah:
1.      Peserta didik bukan miniatur orang dewasa, ia mempunyai dunia sendiri, sehingga metode belajar mengajar tidak boleh dilaksanakan dengan orang dewasa. Orang dewasa tidak patut mengeksploitasi dunia peserta didik, dengan mematuhi segala aturan dan keinginannya, sehingga peserta didik kehilangan dunianya.

2.      Peserta didik memiliki kebutuhan dan menuntut untuk pemenuhan kebutuhan itu semaksimal mungkin. Terdapat lima hierarki kebutuhan yang dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu: pertama, kebutuhan-kebutuhan tahap dasar (basic needs) yang meliputi kebutuhan fisik, rasa aman dan terjamin, cinta dan ikut memiliki (sosial), dan harga diri; kedua,  metakebutuhan-metakebutuhan (meta needs), meliputi apa saja yang terkandung dalam aktualisasi diri, seperti keadilan, kebaikan, keindahan, keteraturan, kesatuan, dan lain sebagainya. Sekalipun demikian, masih ada kebutuhan lan yang tidak terjangkau kelima hierarki kebutuhan itu, yaitu kebutuhan akan transendensi kepada Tuhan. Individu yang melakukan ibadah sesungguhnya tidak dapat dijelaskan dengan kelima hierarki kebutuhan tersebut, sebab akhir dari aktivitasnya hanyalah keikhlasan dan ridha dari Allah SWT.

3.      Peserta didik memiliki perbedaan antara individu dengan individu yang lain, baik perbedaan yang disebabkan dari factor endogen (fitrah) maupun eksogen (lingkungan) yang meliputi segi jasmani, intelegensi, sosial, bakat, minat, dan lingkungan yang mempengaruhinya. Pesrta didik dipandang sebagai kesatuan sistem manusia. Sesuai dengan hakikat manusia, peserta didik sebagai makhlukmonopluralis, maka pribadi peserta didik walaupun terdiri dari dari banyak segi, merupakan satu kesatuan jiwa raga (cipta, rasa dan karsa).

4.      Peserta didik merupakan subjek dan objek sekaligus dalam pendidikan yang dimungkinkan dapat aktif, kreatif, serta produktif. Setiap peserta didik memiliki aktivitas sendiri (swadaya) dan kreatifitas sendiri (daya cipta), sehingga dalam pendidikan tidak hanya memandang anak sebagai objek pasif yang bisanya hanya menerima, mendengarkan saja.

5.      Peserta didik mengikuti periode-periode perkembangan tertentu dalam mempunyai pola perkembangan serta tempo dan iramanya. Implikasi dalam pendidikan adalah bagaimana proses pendidikan itu dapat disesuaikan dengan pola dan tempo, serta irama perkembangan peseta didik. Kadar kemampuan peserta didik sangat ditentukan oleh usia dan priode perkembangannya, karena usia itu bisa menentukan tingkat pengetahuan, intelektual, emosi, bakat, minat peserta didik, baik dilihat dari dimensi biologis, psikologis, maupun dedaktis.[28]

Dalam upaya mencapai tujuan Pendidikan Islam, peserta didik hendaknya memiliki dan menanamkan sifat-sifat yang baik dalam dari dan kepribadiannya. Diantara sifat-sifat ideal yang perlu dimiliki peserta didik misalnya ; berkemauan keras atau pantang menyerah, memiliki motivasi yang tinggi, sabar, dan tabah, tidak mudah putus asa dan sebagainya. Berkenaan dengan sifat ideal di atas, Imam Al-Ghazali, sebagaimana dikutip Fatahiyah Hasan Sulaiman, merumuskan sifat-sifat ideal yang patut dimiliki peserta didik yaitu:
1.      Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub ila Allah. Mempunyai ahklak yang baik dan meninggalkan yang buruk.

2.      Mengurangi kecendrungan pada kehidupan duniawi dibanding ukhrawi dan sebaliknya.
3.      Bersifat tawadhu’ (rendah hati).

4.      Menjaga pikiran dari berbagai pertentangan dan aliran.

5.      Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji baik ilmu umum dan agama.

6.      Belajar secara bertahap atau berjenjang dengan melalui pelajaran yang mudah menuju pelajaran yang lebih sulit.

7.      Mempelajari ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih kepada ilmu yang lainnya.

8.      Memahami nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari

9.      Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.[29]

Dari penjelasan-penjelasan diatas menerangkan bahwa pada hakikatnya anak didik merupakan komponen penting dalam pendidikan, karena selain menjadi objek, anak didik juga merupakan subjek dalam pendidikan. Oleh sebab itu proses  pembelajaran atau pendidikan tidak akan terlaksana tanpa adanya anak didik. Dan merupakan keharusan untuk memahami sifat dan karakter anak didik supaya dalam proses pendidikan akan berjalan sesuai harapan dan dapat tercapainya tujuan dari pendidikan yang diinginkan.






BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Pendidik merupakan seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan tertentu dan mengajarkannya kepada orang lain atau anak didik, dan juga merupakan orang yang mempunyai tanggung jawab dan mempengaruhi jiwa serta rohani seseorang yakni dari segi pertumbuhan jasmaniah, pengetahuan, keterampilan, serta aspek spiritual dalam upaya perkembangan seluruh potensi yang dimiliki oleh seseorang tersebut sesuai dengan prinsip dan nilai ajaran Islam sehingga menjadi insan yang berakhlakul karimah.
Anak didik merupakan salah satu unsur terpenting bagi terlaksananya kegiatan pendidikan. Sebab ia merupakan obyek dan sekaligus subyek serta mitra pendidikan, sehingga sehebat dan selengkap apapun unsur-unsur lainnya, jika anak didik tidak ada atau tidak dipedulikan, maka dapat dipastikan kegiatan pendidikan tidak dapat terlaksana dan berjalan dengan baik. Anak didik merupakan orang yang mempunyai fitrah (potensi) dasar, baik secara fisik maupun psikis, yang perlu dikembangkan, untuk mengembangkan potensi tersebut sangat membutuhkan pendidikan dari pendidik. Pendidikan merupakan bantuan bimbingan yang diberikan pendidik terhadap anak didik menuju kedewasaannya. Sejauh dan sebesar apapun bantuan itu diberikan sangat berpengaruh oleh pandangan pendidik terhadap kemungkinan anak didik utuk di didik.

B.     Saran
Kami mengharapkan ada saran dari pembaca, khususnya Bapak Eriksan selaku Dosen supaya kedepannya kami bisa lebih baik lagi dalam pembuatan makalah.
DAFTAR  PUSTAKA

Abdul Azizi, Filsafat Pendidikan Islam sebuah Gagasan membangun Pendidikan Islam, Yogyakarta: Teras, 2011.
Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2008.
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2010.
Ahmad Farid. Etika Guru dalam Pendidikan Islam, Yogyakarta:Tesis UIN Sunan Kalijaga, 2004.
Ahmad Saebani, Hendra Akhdiyat, Ilmu Pendidikan Islam,Bandung : Pustaka Setia, 2009.
Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu Memanusiakan Manusia, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006.
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002.
Ahmad Zuhdi, Profil Guru dalam Pendidikan Islam Menurut K.H. Hasyim Asy’ari : Telaah Kitab Adab al-Alim wa al-Muta’allim, Yogyakarta: Tesis Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2004.
Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan filsafat Pendidikan Islam, (terjemah Ibrahim Husen dari Mabadi’ al Tarbiyahal islamiyyah), Jakarta: Bulan Bintang,1974.
Fatahiyah Hasan sulaiman, Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1998.
Hamdani Ihsan, Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung : Pustaka Setia, 1998.
Hasan Basri dan Beni Ahmad Saebani. Ilmu Pendidikan Islam (Jilid II), Bandung: Pustaka setia, 2010.
Hifza, Pendidik dan Kepribadiannya dalam Al-Qur’an, Yogyakarta: Tesisi Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010.
Ihsan, dkk, Filsafat Pendidikan Islam. Bandung : CV Pustaka Setia, 1998.
Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003.
M.Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1991.
Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Sunan Kalijaga, 2010.
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Ed. Rev., ( Jakarta : Bumi Aksara, 2010.
Ramayulis dan Syamsul Nizar. Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya. Jakarta: Kalam Mulia,2010.
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Pers, 2002.
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2011.
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1991.
Yasin al-Fatah, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam, Malang: UIN-Malang Press, 2008.


[1] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991),  h. 250.
[2] Ihsan, dkk, Filsafat Pendidikan Islam. (Bandung : CV Pustaka Setia, 1998), h. 78.
[3] Ramayulis dan Syamsul Nizar. Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya. (Jakarta: Kalam Mulia,2010), h.139.
[4]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002) , h. 74-75.
[5] Abdul Mujib. Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2008), h. 88.
[6] Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Sunan Kalijaga, 2010), h. 169.
[7] Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu Memanusiakan Manusia,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006),  h. 170.
[8] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), h. 41.
[9]Ahmad Zuhdi, Profil Guru dalam Pendidikan Islam Menurut K.H. Hasyim Asy’ari : Telaah Kitab Adab al-Alim wa al-Muta’allim, (Yogyakarta: Tesis Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2004), h. 19.
[10]Ramayulis dan Syamsul Nizar, Op. Cit., h.148.
[11]Hasan Basri dan Beni Ahmad Saebani. Ilmu Pendidikan Islam (Jilid II), (Bandung: Pustaka setia, 2010), h. 84.
[12]Maragustam, Op. Cit., h. 170.
[13]Ahmad Farid. Etika Guru dalam Pendidikan Islam,  (Yogyakarta:Tesis UIN Sunan Kalijaga, 2004), h.15.
[14] Abd. Azizi, Filsafat Pendidikan Islam sebuah Gagasan membangun Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Teras, 2011), h. 182
[15] Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Ed. Rev., ( Jakarta : Bumi Aksara, 2010), h. 31.
[16] Hifza, Pendidik dan Kepribadiannya dalam Al-Qur’an, (Yogyakarta: Tesisi Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010), h. 42.
[17] Ahmad Saebani, Hendra Akhdiyat, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2009), h. 221.
[18] Hamdani Ihsan, Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 1998), h. 94.
[19] M.Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1991), h.144.
[20] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2011), h. 119.
[21] Ramayulis dan Syamsul Nizar. Op. Cit., h.169.                                        
[22] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis. (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), h. 47.
[23] Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), h. 144.
[24] Yasin al-Fatah, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), h.100.
[25] Jalaluddin, Op. Cit.
[26]Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan filsafat Pendidikan Islam, (terjemah Ibrahim Husen dari Mabadi’ al Tarbiyahal islamiyyah),( Jakarta: Bulan Bintang,1974), h. 175.
[27] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2010), h. 99-101.
[28] Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2008), h. 105-106.
[29] Fatahiyah Hasan Sulaiman, Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1998 ), h. 78.