Sabtu, 19 November 2016

Makalah Ilmu Tasawuf




KEBEBASAN, TANGGUNG JAWAB DAN HATI NURANI
Makalah ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu : M.Indra Saputra, M.Pd.I





                             

 Disusun Oleh Kelompok 6 :
Betha Ria Indriani    : 1611050279
M. Sukma Wijaya     : 1611050294
Sri Arizsa Elia           : 1611050369





PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
1438 H/2016 M


 

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama ALLAH SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyanyang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Akhlak Tasawuf dengan judul “Kebebasan, Tanggung Jawab Dan Hati Nurani”.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai materi ini. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa didalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang kami harapkan. Untuk itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan dimasa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekira makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan, dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dimasa depan.





Bandar Lampung,   November 2016




Penyusun





DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
            A.    Latar Belakang............................................................................................ 1
            B.     Rumusan Masalah....................................................................................... 1
            C.     Tujuan......................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
            A.    Kebebasan...................................................................................................3
            B.     Tanggungjawab........................................................................................... 5
            C.     Hati Nurani................................................................................................. 9
            D.    Hubungannya Dengan Akhlak.................................................................... 13
BAB III PENUTUP
            A.    Kesimpulan............................................................................................... 14
            B.     Saran.........................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA






BAB I
PENDAHULUAN

           A.    Latar Belakang
Persoalan kebebasan hati nurani sebagai norma moral subjektif bukanlah sebuah persoalan yang mudah diselesaikan dengan begitu saja dalam kehidupan manusia, karena hati nurani berkaitan erat dengan pribadi manusia. Bahkan, para pakar moral mengatakan bahwa pembicaraan mengenai hati nurani sebagai norma moral subjektif merupakan suatu fakta yang sangat rumit karena apa yang disebut sebagai norma moral subjektif tidak lepas dari pribadi atau subjek yang mengambil keputusan.
Dapat dikatakan bahwa hati nurani sebagai norma moral subyektif memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, terutama ketika manusia berhadapan dengan suatu persoalan yang membutuhkan keputusan dari manusia itu sendiri. Hati nurani sebagai jalan keluar yang paling akhir dalam mengambil keputusan menjadikan manusia otoritas eksklusif atas apa yang diperintahkan oleh hati nuraninya. Dengan demikian, setiap orang sebagai subjek yang mengambil keputusan bertanggungjawab atas tindakan dan perbuatannya dengan segala konsekuensi dari apa yang dia putuskan. Pengambilan keputusan oleh setiap orang, dapat kita lihat dalam pengalaman hidup sehari-hari.

            B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Yang Dimaksud Kebebasan?
2.      Apa Yang Dimaksud Tanggungjawab?
3.      Apa Yang Dimaksud Hati Nurani?
4.      Hubungan Kebebasan, Tanggungjawab dan Hati Nurani dengan Akhlak?




            C.    Tujuan
1.      Mengetahui Pengertian Kebebasan.
2.      Mengetahui Pengertian Tannggungjawab.
3.      Mengetahui Pengertian Hati Nurani.
4.      Mengetahui Hubungan Ketiga Aspek dengan Akhlak.



 



BAB II
PEMBAHASAN


            A.   KEBEBASAN
Kebebasan merupakan salah satu masalah yang menjadi perdebatan dikalangan para ahli teologi, yang kemudian terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa manusia memiliki kehendak bebas dan merdeka untuk melakukan perbuatannya menurut kemauannya sendiri. Kedua, kelompok yang berpendapat bahwa manusia tidak memiliki kebebasan untuk melaksanakan perbuatannya. Mereka dibatasi dan ditentukan oleh Tuhan.[1] Selain itu, ada sebagian ahli berpendapat bahwa manusia melakukan sesuatu karena terpaksa. Sementara sebagian ahli lainnya berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan untuk menetapkan perbuatannya.
Di zaman baru ini perdebatan masalah kebebasan dan keterpaksaan tersebut muncul kembali. Sebagian ahli filsafat seperti Spinoza, Hucs dan Malebrache berpendapat bahwa manusia melakukan sesuatu karena terpaksa. Sedangkan ahli filsafat lainnya berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan untuk menetapkan perbuatannya.[2]
                        Menurut Ahmad Charris Zubair, kebebasan terjadi apabila kemungkinan-kemungkinan untuk bertindak tidak dibatasi oleh suatu paksaan dari keterikatan kepada orang lain. Paham ini disebut bebas negatif. Seseorang disebut bebas apabila:
1.      Dapat menentukan sendiritujuan-tujuannya dan apa yang dilakukannya.
2.      Dapat memilih kemungkinan-kemungkinan yang tersedia baginya.
3.      Tidak dipaksa atau terikat untuk membuat sesuatu yang tidak akan dipilihnya sendiri ataupun dicegah dari berbuat apa yang dipilihnya sendiri, oleh kehendak orang lain, negara atau kekuasaan apapun.[3]



Kebebasan itu meliputi segala macam kegiatan manusia, yaitu kegiatan yang disadari, disengaja dan dilakukan demi suatu tujuan yang selanjutnya disebut tindakan. Namun bersamaan dengan itu, manusia juga memiliki keterbatasan atau dipaksa menerima apa adanya, seperti keterbatasan yang sifatnya fisik. Namun tidak membatasi kebebasan yang sifatnya rohaniah. Dengan demikian, keterbatasan-keterbatasan tersebut tidak mengurangi kebebasan kita.
Dari segi sifatnya, kebebasan dibagi menjadi tiga macam:
1.      Kebebasan jasmaniah, yaitu kebebasan dalam menggerakkan dan mempergunakan anggota tubuh.
2.      Kebebasan kehendak (rohaniah), yaitu kebebasan untuk menghendaki sesuatu.
3.      Kebebasan moral, dalam arti luas berarti tidak adanya macam-macam ancaman, tekanan, larangan dan desakan lain yang tidak sampai berupa paksaan fisik. Dalam arti sempit berarti tidak adanya kewajiban, yaitu kebebasan berbuat apabila terdapat kemungkinan-kemungkinan untuk bertindak.[4]
Kebebasan pada tahap selanjutnya mengandung kemampuan khusus manusiawi untuk bertindak, yaitu dengan menentukan sendiri apa yang mau dibuat berhadapan dengan macam-macam unsur. Manusia bebas berarti manusia yang dapat menentukan sendiri tindakannya. Selanjutnya manusia dalam bertindak dipengaruhi oleh lingkungan luar, tetapi dapat juga mengambil sikap dan menentukan dirinya sendiri. Dengan demikian, kebebasan merupakan tanda dan ungkapan martabat manusia sebagai satu-satunya makhluk yang tidak hanya ditentukan dan digerakkan, melainkan yang dapat nebebtukan dunianya dan dirinya sendiri. Apa saja yang dilakukan tidak atas kesadaran dan keputusannya sendiri.[5]
Paham adanya kebebasan pada manusia ini sejalan pula dengan isyarat yang diberikan Al-Qur’an pada ayat dibawah ini:
1.      Q.S. Ali Imran: 165.
Artinya: “Dan Mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu Telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri". Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
2.      Q.S Al-Kahfi (18) : 29.
Artinya : “Katakanlah kebenaran datang dari tuhanmu, siapa yang mau percaya percayalah  ia, siapa yang tidak mau janganlah ia percaya.”
3.      Q.S Fushilat (41) : 40.
Artinya: “Buatlah apa yang kamu kehendaki,sesungguhnya Ia melihat apa yang kamu perbuat.”
Ayat-ayat tersebut dengan jelas memberi peluang kepada manusia untuk secara bebas menentukan tindakkannya berdasarkan kemauannya sendiri.

           B.     TANGGUNG JAWAB
Tanggung jawab menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya.Tanggung jawab timbul karena telah diterima wewenang. Sedangkan menurut WJS. Poerwodarminto, tanggung jawab adalah sesuatu yang menjadi kewajiban (keharusan)untuk  dilaksanakan, dibalas dan sebagainya.
Dengan demikian tanggung jawab dalam kerangka akhlak adalah keyakinan bahwa tindakannya itu baik. Ini pun sesuai dengan ungkapan Indonesia, yaitu kalau dikatakan bahwa orang yang melakukan kekacauan sebagai orang yang tidak bertanggung jawab, maka yang dimaksud adalah bahwa perbuatan yang dilakukan orang tersebut secara moral tidak dapat dipertanggung­jawabkan, mengingat perbuatan tersebut tidak dapat diterima oleh masyarakat.[6]
Uraian tersebut menunjukkan bahwa tanggung jawab erat kaitannya dengan kesengajaan atau perbuatan yang dilakukan dengan kesadaran.Orang yang melakukan perbuatan tapi dalam keadaan tidur atau mabuk dan semacamnya tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan, karena perbuatan tersebut dilakukan bukan karena pilihan akalnya yang sehat.Selain itu tanggung jawab juga erat hubungannya dengan hati nurani atau intuisi yang ada dalam diri manusia yang selalu menyuarakan kebenaran.Seseorang baru dapat disebut bertang­gungjawab apabila secara intuisi perbuatannya itu dapat dipertang­gungjawabkan pada hati nurani dan kepada masyarakat pada umumnya.[7]
Dengan demikian kalau terjadi sesuatu maka seseorang yang dibebani tanggung jawab wajib menanggung segala sesuatunya. Oleh karena itu manusia yang bertanggung jawab adalah manisia yang dapat menyatakan diri sendiri bahwa tindakannya itu baik dalam arti menurut norma umum, sebab baik menurut seseorang belum tentu baik menurut pendapat orang lain.
Dengan kata lain, tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya.
Ada beberapa macam tanggung jawab antara lain :
1.      Tanggung jawab terhadap dirinya sendiri
Manusia diciptakan oleh Tuhan mengalami periode lahir, hidup, kemudian mati. Agar manusia dalam hidupnya mempunyai “harga”, sebagai pengisi fase kehidupannya itu maka manusia tersebut atas namanya sendiri dibebani tanggung jawab.Sebab apabila tidak ada tanggung jawab terhadap dirinya sendiri maka tindakannnya tidak terkontrol lagi.Intinya dari masing-masing individu dituntut adanya tanggung jawab untuk melangsungkan hidupnya di dunia sebagai makhluk Tuhan.
2.      Tanggung jawab terhadap keluarga
Keluarga merupakan masyarakat kecil. Keluarga terdiri atas ayah-ibu, anak-anak, dan juga orang lain yang menjadi anggota keluarga. Tiap anggota keluarga wajib bertanggung jawab kepada keluarganya. Tanggung jawab itu menyangkut nama baik keluarga. Tetapi tanggung jawab juga merupakan kesejahteraan, keselamatan, pendidikan, dan kehidupan.Untuk memenuhi tanggung jawab dalam keluarga kadang-kadang diperlukan pengorbanan.
3.      Tanggungjawab terhadap masyarakat
Pada hakekatnya manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain, sesuai dengan kedudukanya sebagai makhluk sosial. Karena membutuhkan manusia lain, maka ia harus berkomunikasi dengan manusia lain tersebut. Sehingga dengan demikian manusia di sini merupakan anggota masyarakat yang tentunya mempunyai tanggung jawab seperti anggota masyarakat yang lain agar dapat melangsunggkan hidupnya dalam masyarakat tersebut. Wajarlah apabila semua tingkah laku dan perbuatannya harus dipertanggung jawabkan kepada masyarakat.
4.      Tanggung jawab terhadap Bangsa / Negara
Suatu kenyataan lagi bahwa setiap manusia, setiap individu adalah warga negara suatu negara.Dalam berfikir, berbuat, bertindak, bertingkahlaku manusia terikat oleh norma-norma atau ukuran-ukuran yang dibuat oleh negara.Manusia tidak bisa berbuat semaunya sendiri. Bila perbuatan manusia itu salah, maka ia harus bertanggung jawabkan kepada negara.


5.      Tanggung jawab terhadap Tuhan
Tuhan menciptakan manusia di bumi ini bukanlah tanpa tanggung jawabmelainkan untuk mengisi kehidupannya.Manusia mempunyai tanggung jawab langsung kepada Tuhan.Sehingga tindakan manusia tidak bisa lepas dari hukum-hukum Tuhan yang dituangkan dalam berbagai kitab suci melalui berbagai macam agama. Pelanggaran dari hukum-hukum tersebut akan segera diperingatkan oleh Tuhan dan jika dengan peringatan yang keraspun manusia masih juga tidak menghiraukan, maka Tuhan akan melakukan kutukan. Sebab dengan mengabaikan perintah-perintah Tuhan berarti mereka meninggalkan tanggung jawab yang seharusnya dilakukan manusia terhadap Tuhan sebagai Penciptanya, bahkan untuk memenuhi tanggung jawabnya, manusia perlu pengorbanan.
Sikap moral yang  dewasa adalah sikap tanggung jawab. Tanggung jawab memiliki hubungan dengan kebebasan, dalam kerangka tanggung jawab ini kebebasan mengandung arti :
1.      Kemampuan untuk menentukan dirinya sendiri.
2.      Kemampuan untuk bertanggung jawab
3.      Kedewasaan manusia.
4.      Keseluruhan kondisi yang memungkinkan manusia melakukan tujuan hidupnya.
Tingkah laku yang didasarkan pada sikap, sistem nilai dan pola pikir berarti tingkah laku yang berdasarkan kesadaran, bukan instingtif, melainkan terdapat makna kebebasan manusia. Sejalan dengan adanya kebebasan atau kesengajaan, orang harus bertanggung jawab terhadap tindakannya. Ini berarti bahwa ia harus dapat mengatakan dengan jujur kepada kata hatinya, bahwa tindakkannya itu sesuai dengan penerangan dan tuntutan kata hati, jadi bahwa dia berbuat baik dan tidak berbuat jahat, setidaknya menurut keyakinannya.
Dengan demikian, tanggung jawab dalam kernagka akhlak adalah keyakinan bahwa tindakannya itu baik. Ini pun sesuai dengan ungkapan Indonesia, yaitu kalau dikatakan bahwa orang yang melakukan kekacauan sebagai orang yang tidak bertanggung jawab, maka yang dimaksud adalah bahwa perbuatan yang dilakukan orang tersebut secara moral tidak dapt dipertanggungjawabkan, mengingat perbuatan itu tidak dapat diterima oleh masyarakat.
Uraian tersebut menunjukkan bahwa tanggung jawab erat kaitannya dengan perbuatan yang dilakukan dengan kesadaran. Orang yang melakukan perbuatan tapi dalam keadaan tidur atau mabuk tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan, karena perbuatan tersebut dilakukan bukan karena pilihan akalnya yang sehat. Selain itu tanggung jawab juga erat hubungannya dengan hati nurani atau intuisi yang ada dalam diri manusia yang selalu menyuarakan kebenaran. Seseorang dapat dikatakan bertanggung jawab apabila secara intuisi perbuatannnya itu dapat dipertanggungjawabkan pada hati nurani dan kepada masyarakat pada umumnya.

            C.    HATI NURANI
Hati nurani atau intuisi merupakan tempat di mana manusia dapat memperoleh saluran ilham dari Tuhan. Hati nurani ini selalu cenderung kepada kebaikan dan tidak suka kepada keburukan. Atas dasar inilah muncul aliran intuisisme, yaitu paham yang meyatakan bahwa perbuatan yang baik adalah perbuatan yang sesuai dengan kata hati, sedangkan perbuatan yang buruk adalah perbuatan yang tidak sejalan dengan kata hati atau hati nurani.[8] Hati nurani harus menjadi salah satu dasar pertimbangan dalam melaksanakan kebebasan yang ada dalam diri manusia, yaitu kebebasan yang tidak menyalahi atau membelenggu hati nuraninya, karena kebebasan yang demikian itu pada hakikatnya dapat merugikan secara moral. Hati nurani dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu retrospektif dan prospektif. Hati nurani restrokpektif mampu memberikan penilaian tentang baik atau buruknya suatu perbuatan yang dilakukan seseorang pada masa lalu. Hati nurani prospeksi mampu memberikan penilaian tentang baik atau buruknya seseorang kemasa depan.[9]
Dalam konteksnya hati nurani terbagi menjadi tiga sifat yaitu personal, adipersonal, dan mutlak. Hati nurani bersifat personal selalu berkaitan erat dengan pribadi bersangkutan serta sering berbicara atas nama saya atau hanya pemberi penilaian tentang perbuatan dirinya sendiri. Hati nurani bersifat adipersonal merupakan bentuk hati nurani yang kita sebagai individu hanya menjadi pendengar, serta terlihat aspek trasenden yang melebihi pribadi kita. Hati nurani bersifat mutlak merupakan bentuk sifat khas hati nurani yang berlaku mutlak, atau posisi disaat hati nurani yang mendesak hati kita untuk menaati bisikkannya seakan-akan menyadarkan kita terhadap kewajiban atau mengingatkan kita kepada suatu hal yang harus atau tidak boleh kita lakukan.[10] Perasaan manusia yang paling mendalam biasanya disebut dengan kata hati, atau hati nurani. Nurani berasal dari kata Arab nur (nuraniyyun) yang artinya cahaya.Jadi hati nurani dapat disebut sebagai cahaya hati, atau lubuk hati yang terdalam.
Dalam Al-Qur’an, nurani atau kata hati disebut dengan kata bashirah yang dapat diterjemahkan dalam pandangan mata hati (QS. 75 : 15) sebagai lawan dari pandangan mata. Jika qalbu yang memiliki karakter tidak konsisten itu masih dapat menipu diri dan pura-pura tidak tahu, maka nurani tetap jujur dan peka.
Nurani yang terpelihara, ibarat cermin yang bersih, yang dapat menampakan wajah apa adanya. Orang yang sering melakukan kejahatan, nuraninya bagaikan cermin yang tersiram cairan hitam sehingga hanya sedikit saja yang menampakan wajah asli pemiliknya, sedangkan orang yang melakukan kejahatan secara terbuka sebagaimana ia melakukan kebaikan (mencampur adukan kebaikan dan kejahatan) cermin nuraninya retak sehingga tidak mampu menampakan wajah pemiliknya seperti apa adanya. Jadi, jika nafs digambarkan seperti ruang yang luas di dalam diri manusia, dan qalbu merupakan kamar kecil di dalam ruang itu, maka nurani merupakan kotak kecil yang tersembunyi secara rapih dan kuat di dalam kamar qalbu.
Dalam ilmu tasawuf, nurani disebut sebagai nurun yaqdzifuhullloh fi al qalbi, yakni cahaya yang ditempatkan Tuhan di dalam hati atau cahaya ketuhanan, oleh karena itu nurani tidak bisa kompromi dengan kebohongan atau kejahatan.Karena nurani itu cahaya, maka efektifitasnya bergantung apakah terbuka atau tertutup. Cahaya nurani dapat tertutup oleh keserakahan dan perbuatan maksiat. Jika cahaya nurani tertutup maka orang itu seperti berjalan di tempat gelap, salah ambil, salah masuk, salah taroh dan sebagainya.
Menurut bahasa, kata nurani berasal dari kata nuurun dan ainii  berarti cahaya mata saya. Menurut Istilah, yaitu partikel kecil (microchip) hidayah yang diamanatkan oleh Allah. Dengannya secara fitrah, manusia bisa mengenali dirinya dan Tuhannya. Mengetahui yang benar dan yang salah.Rasulullah Saw bersabda, “Mintalah fatwa dari hati nurani kita, kebenaran adalah apabila nurani dan jiwamu tenang terhadapnya sementara dosa apabila hati mu gelisah” (HR.Ahmad).
Ini tentunya terjadi apabila hati nurani berfungsi dengan baik, dalam keadaan hidup dan sehat. Ketika kita berbohong dengan orang lain misalnya, bisa jadi manusia tidak pernah tahu tentang kebohongn kita tetapi nurani sehat kita akan melahirkan perasaan bersalah dan tertekan karena dosa tersebut. Rasulullah Saw mendefiniskan dosa sebagai "sesuatu yang akan  menimbulkan perasaan yang tidak nyaman dan tertekan dalam hati. Di samping itu, pelakunya tidak menyukai orang lain tahu perbuatan tersebut." Artinya, nurani kita akan menolak saat kita hendak melakukan perbuatan dosa sekecil apapun.
Semua kejadian bisa diingat oleh hati nurani, karena hati nuranilah yang kelak akan menjadi saksi di hadapan Allah. Firman Allah: “Maka apakah dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur, dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada” (QS. al-Adiyat: 9 -10). Jadi, hati nurani memiliki nuur (ber-cahaya), tidak menyilaukan tapi memberi penerangan sebagai petunjuk.
Oleh karena itu, ketika hati nurani dibelenggu hawa nafsu, hati nurani bisa kehilangan ruh-nya, cahayanya semakin pudar sehingga pada akhirnya tidak dapat membedakan halal dan haram.Dalam keadaan seperti itu, manusia disebut buta yang sebenar-benarnya karena mata jika tertutup menjadi gelap tidak tahu halal dan haram. Orang yang secara lahiriyah tidak dapat melihat tapi mata hatinya bening maka ia lebih baik dari orang yang buta mata hati. Oleh karena itu buta yang sebenarnya adalah buta adalah buta mata hati (hati nurani) bukan buta mata kepala (Lihat: QS. al-Hajj [22]: 46).
Nurani ada dalam ranah spiritual, kematian nurani merupakan krisis spiritual. Beberapa ahli psikologi menyebutkan fenomena ini dengan beberapa istilah, seperti spritual alienation (keengganan spirtual), spiritual illness(penyakit hati), spiritual emergency (krisis spiritual). Krisis spiritual berlanjut pada eksistensi diri sebagaimana disebut Carl Gustav Jung sebagai existensial liness (krisis eksistensi).Semua ini bermuara pada semakin lemahnya kecenderungan dan kemampuan manusia dalam mengenal Tuhannya dengan segala perintah dan larangan-Nya. Dalam bahasa sederhana, bisa dikatakan sebagai proses lemahnya iman kepada Tuhan. Inilah sebenarnya pemasalahan kita semua yang telah melahirkan berbagai krisis.
Dari pemahaman kebebasan yang telah diuraikan dalam beberapa penjelasan diatas, maka timbullah tanggung jawab, yaitu bahwa kebebasan yang diperbuat itu secara hati nurani dan moral harus dapat dipertanggungjawabkan oleh orang yang melakukannya tersebut.

   D. HUBUNGAN KEBEBASAN, TANGGUNG JAWAB DAN HATI NURANI DENGAN   AKHLAK
Pada uraian diatas telah disinggung bahwa suatu perbuatan baru dapat dikategorikan sebagai perbuatan akhlaki atau perbuatan yang dapat dinilai berakhlak apabila perbuatan tersebut dilakukan atas kemauan sendiri, bukan paksaan dan bukan pula dibuat-buat melainkan dilakukan dengan tulus ikhlas. Untuk mewujudkan perbuatan akhlak yang ciri-cirinya demikian baru bisa terjadi apabila orang yang melakukannya memiliki kebebasan atau kehendak yang timbul dari dalam dirinya sendiri. Dengan demikian, perbuatan yang berakhlak itu adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja secar bebas. Disinilah letak hubungan antara kebebasan an perbuatan akhlak.
Perbuatan akhlak juga harus dilakukan atas kemauan sendiri dan bukan paksaan. Perbuatan yang demikianlah yang dapat dimintai pertanggungjawabannya dari orang yang melakukannya. Disinilah letak hubungan antara tangung jawab dan akhlak. Perbuatan akhlak juga harus muncul dari keikhlasan hati yang melakukannya, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada hati sanubari, maka hubungan akhlak dengan hati nurani menjadi demikian penting.
Dengan demikian, masalah kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani adalah faktor dominan yang menentukan suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan akhlaki. Disinilah letak hubungan fungsional antara kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani tersebut dengan akhlak, karena dalam membahas akhlak, seseorang tidak dapat meninggalkan pembahasan mengenai kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani karena ketiganya saling berkaitan.[11]





BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Kebebasan
Seperti yang telah dikemukakan oleh Ahmad Charris Zubair bahwa kebebasan adalah terjadi apabila kemungkinan-kemungkinan untuk bertindak tidak dibatasi oleh paksaan atau keterikatan kepada orang lain.
2.      Tanggung Jawab
Tanggung jawab dalam kerangka akhlak adalah keyakinan bahwa tindakannya itu baik.
3.      Hati Nurari
Hati nurani (intuisi) merupakan tempat dimana manusia dapat memperoleh saluran ilham dari Tuhan dan selalu cenderung kepada kebaikan dan tidak suka kepada keburukan.
4.      Hubungan Kebebasan, Tanggung Jawab, Hati Nurani Dan Akhlak
Perbuatan berakhlak adalah perbuatan yang dilakukan secara sengaja dan bebas. Disinilah letak hubungan akhlak dan kebebasan. Akhlak juga harus dilakukan atas kemauan sendiri dan bukan paksaan. Perbuatan seperti ini disebut perbuatan yang bertanggung jawab. Disinilah letak hubungan akhlak dan tanggung jawab. Terakhir, Perbuatan akhlak juga harus muncul dari keikhlasan hati yag melakukanya dan dapat dipertaggung awabkan kepada hati sanubari, maka disinilah hubungan akhlak dan hati nurani.

             B. Saran
     Diharapkan ada saran yang membangun dari pembaca, khususnya dari Bapak Dosen agar kami  bisa lebih baik lagi dalam pembuatan  makalah.


DAFTAR PUSTAKA


Amin Ahmad, Ilmu Akhlak, terj. Farid Mahfud, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Atosokhi Gea Antonius, Relasi Dengan Tuhan, Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2004.
Bertens K, Etika, Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2007.
Charris Zubair Ahmad, Kuliah Etika,cet.1, Jakarta: Rajawali Pers, 1990.
Nata Abuddin, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013.


[1] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), h. 109.
[2] Ahmad Amin, Ilmu Akhlak, terj. Farid Mahfud, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 53.
[3] Ahmad Charris Zubair, Kuliah Etika,cet.1, (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), h.39.
[4] Abuddin Nata, Op.Cit., h. 111.
[5] Ahmad Charris Zubair, Op.Cit., h. 43.
[6] Abuddin Nata, Op.Cit., h. 113.
[7] Ibid,. h. 114.
[8] Ibid., h.114.
[9] K. Bertens, Etika, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2007), h. 62-68.
[10] Antonius Atosokhi Gea, Relasi Dengan Tuhan, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2004), h. 57.
[11] Abuddin Nata, Op.Cit., h.114-115.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar