KEBEBASAN,
TANGGUNG JAWAB DAN HATI NURANI
Makalah ini Disusun
Guna Memenuhi Tugas Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu :
M.Indra Saputra, M.Pd.I
Disusun Oleh Kelompok 6 :
Betha Ria Indriani :
1611050279
M. Sukma Wijaya : 1611050294
PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS
TARBIYAH DAN KEGURUAAN
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
1438
H/2016 M
KATA
PENGANTAR
Dengan menyebut
nama ALLAH SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyanyang, kami panjatkan puja dan
puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah mata
kuliah Akhlak Tasawuf dengan judul “Kebebasan, Tanggung Jawab Dan Hati Nurani”.
Kami sangat
berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai materi ini. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa
didalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang kami
harapkan. Untuk itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi
perbaikan dimasa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna
tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah
sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekira makalah yang
telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya.
Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan, dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan
dimasa depan.
Bandar
Lampung, November 2016
Penyusun
DAFTAR
ISI
COVER
KATA PENGANTAR............................................................................................
i
DAFTAR ISI..........................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang............................................................................................
1
B.
Rumusan Masalah.......................................................................................
1
C.
Tujuan......................................................................................................... 2
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Kebebasan...................................................................................................3
B.
Tanggungjawab...........................................................................................
5
C.
Hati Nurani.................................................................................................
9
D.
Hubungannya Dengan Akhlak....................................................................
13
BAB
III PENUTUP
A.
Kesimpulan...............................................................................................
14
B.
Saran.........................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Persoalan
kebebasan hati nurani sebagai norma moral subjektif bukanlah sebuah persoalan
yang mudah diselesaikan dengan begitu saja dalam kehidupan manusia, karena hati
nurani berkaitan erat dengan pribadi manusia. Bahkan, para pakar moral
mengatakan bahwa pembicaraan mengenai hati nurani sebagai norma moral subjektif
merupakan suatu fakta yang sangat rumit karena apa yang disebut sebagai norma
moral subjektif tidak lepas dari pribadi atau subjek yang mengambil keputusan.
Dapat dikatakan
bahwa hati nurani sebagai norma moral subyektif memainkan peranan yang sangat
penting dalam kehidupan manusia, terutama ketika manusia berhadapan dengan
suatu persoalan yang membutuhkan keputusan dari manusia itu sendiri. Hati
nurani sebagai jalan keluar yang paling akhir dalam mengambil keputusan
menjadikan manusia otoritas eksklusif atas apa yang diperintahkan oleh hati
nuraninya. Dengan demikian, setiap orang sebagai subjek yang mengambil
keputusan bertanggungjawab atas tindakan dan perbuatannya dengan segala
konsekuensi dari apa yang dia putuskan. Pengambilan keputusan oleh setiap
orang, dapat kita lihat dalam pengalaman hidup sehari-hari.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Yang Dimaksud Kebebasan?
2. Apa Yang Dimaksud Tanggungjawab?
3. Apa Yang Dimaksud Hati Nurani?
4. Hubungan Kebebasan, Tanggungjawab dan Hati Nurani
dengan Akhlak?
C. Tujuan
1.
Mengetahui Pengertian Kebebasan.
2.
Mengetahui Pengertian Tannggungjawab.
3.
Mengetahui Pengertian Hati Nurani.
4.
Mengetahui Hubungan Ketiga Aspek dengan Akhlak.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KEBEBASAN
Kebebasan merupakan salah satu masalah yang menjadi
perdebatan dikalangan para ahli teologi, yang kemudian terbagi menjadi dua
kelompok. Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa manusia memiliki
kehendak bebas dan merdeka untuk melakukan perbuatannya menurut kemauannya
sendiri. Kedua, kelompok yang berpendapat bahwa manusia tidak memiliki
kebebasan untuk melaksanakan perbuatannya. Mereka dibatasi dan ditentukan oleh
Tuhan.[1]
Selain itu, ada sebagian ahli berpendapat bahwa manusia melakukan sesuatu
karena terpaksa. Sementara sebagian ahli lainnya berpendapat bahwa manusia
memiliki kebebasan untuk menetapkan perbuatannya.
Di zaman baru ini perdebatan masalah kebebasan dan
keterpaksaan tersebut muncul kembali. Sebagian ahli filsafat seperti Spinoza,
Hucs dan Malebrache berpendapat bahwa manusia melakukan sesuatu karena
terpaksa. Sedangkan ahli filsafat lainnya berpendapat bahwa manusia memiliki
kebebasan untuk menetapkan perbuatannya.[2]
Menurut
Ahmad Charris Zubair, kebebasan terjadi apabila kemungkinan-kemungkinan untuk
bertindak tidak dibatasi oleh suatu paksaan dari keterikatan kepada orang lain.
Paham ini disebut bebas negatif. Seseorang disebut bebas apabila:
1. Dapat menentukan sendiritujuan-tujuannya
dan apa yang dilakukannya.
2. Dapat memilih kemungkinan-kemungkinan
yang tersedia baginya.
3. Tidak dipaksa atau terikat untuk membuat
sesuatu yang tidak akan dipilihnya sendiri ataupun dicegah dari berbuat apa
yang dipilihnya sendiri, oleh kehendak orang lain, negara atau kekuasaan
apapun.[3]
Kebebasan itu meliputi segala macam kegiatan
manusia, yaitu kegiatan yang disadari, disengaja dan dilakukan demi suatu
tujuan yang selanjutnya disebut tindakan. Namun bersamaan dengan itu, manusia
juga memiliki keterbatasan atau dipaksa menerima apa adanya, seperti
keterbatasan yang sifatnya fisik. Namun tidak membatasi kebebasan yang sifatnya
rohaniah. Dengan demikian, keterbatasan-keterbatasan tersebut tidak mengurangi
kebebasan kita.
Dari segi sifatnya, kebebasan dibagi menjadi tiga
macam:
1. Kebebasan jasmaniah, yaitu kebebasan
dalam menggerakkan dan mempergunakan anggota tubuh.
2. Kebebasan kehendak (rohaniah), yaitu
kebebasan untuk menghendaki sesuatu.
3. Kebebasan moral, dalam arti luas berarti
tidak adanya macam-macam ancaman, tekanan, larangan dan desakan lain yang tidak
sampai berupa paksaan fisik. Dalam arti sempit berarti tidak adanya kewajiban,
yaitu kebebasan berbuat apabila terdapat kemungkinan-kemungkinan untuk
bertindak.[4]
Kebebasan pada tahap selanjutnya mengandung
kemampuan khusus manusiawi untuk bertindak, yaitu dengan menentukan sendiri apa
yang mau dibuat berhadapan dengan macam-macam unsur. Manusia bebas berarti
manusia yang dapat menentukan sendiri tindakannya. Selanjutnya manusia dalam bertindak
dipengaruhi oleh lingkungan luar, tetapi dapat juga mengambil sikap dan
menentukan dirinya sendiri. Dengan demikian, kebebasan merupakan tanda dan
ungkapan martabat manusia sebagai satu-satunya makhluk yang tidak hanya
ditentukan dan digerakkan, melainkan yang dapat nebebtukan dunianya dan dirinya
sendiri. Apa saja yang dilakukan tidak atas kesadaran dan keputusannya sendiri.[5]
Paham adanya kebebasan pada manusia ini sejalan pula
dengan isyarat yang diberikan Al-Qur’an pada ayat dibawah ini:
1. Q.S. Ali Imran:
165.
Artinya:
“Dan Mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal
kamu Telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada
peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan)
ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri".
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
2. Q.S Al-Kahfi (18) : 29.
Artinya : “Katakanlah kebenaran datang
dari tuhanmu, siapa yang mau percaya percayalah ia, siapa yang tidak mau
janganlah ia percaya.”
3. Q.S Fushilat
(41) : 40.
Artinya: “Buatlah
apa yang kamu kehendaki,sesungguhnya Ia melihat apa yang kamu perbuat.”
Ayat-ayat tersebut dengan jelas memberi peluang
kepada manusia untuk secara bebas menentukan tindakkannya berdasarkan
kemauannya sendiri.
B. TANGGUNG JAWAB
Tanggung jawab menurut
kamus besar Bahasa Indonesia adalah keadaan wajib menanggung segala
sesuatunya.Tanggung jawab timbul karena telah diterima wewenang. Sedangkan menurut WJS. Poerwodarminto, tanggung jawab
adalah sesuatu yang menjadi kewajiban (keharusan)untuk dilaksanakan,
dibalas dan sebagainya.
Dengan
demikian tanggung jawab dalam kerangka akhlak adalah keyakinan bahwa
tindakannya itu baik. Ini pun sesuai dengan
ungkapan Indonesia, yaitu kalau dikatakan bahwa orang yang melakukan kekacauan sebagai orang yang tidak
bertanggung jawab, maka yang dimaksud adalah bahwa perbuatan yang dilakukan orang tersebut secara moral tidak dapat
dipertanggungjawabkan, mengingat
perbuatan tersebut tidak dapat diterima oleh masyarakat.[6]
Uraian
tersebut menunjukkan bahwa tanggung jawab erat kaitannya dengan kesengajaan
atau perbuatan yang dilakukan dengan
kesadaran.Orang yang melakukan perbuatan tapi dalam keadaan tidur atau mabuk dan semacamnya tidak
dapat dikatakan sebagai perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan,
karena perbuatan tersebut dilakukan bukan
karena pilihan akalnya yang sehat.Selain itu tanggung jawab juga erat
hubungannya dengan hati nurani atau intuisi
yang ada dalam diri manusia yang selalu menyuarakan kebenaran.Seseorang
baru dapat disebut bertanggungjawab apabila
secara intuisi perbuatannya itu dapat dipertanggungjawabkan pada hati
nurani dan kepada masyarakat pada umumnya.[7]
Dengan demikian kalau terjadi
sesuatu maka seseorang yang dibebani tanggung jawab wajib menanggung segala sesuatunya.
Oleh karena itu manusia yang bertanggung jawab adalah manisia yang dapat
menyatakan diri sendiri bahwa tindakannya itu baik dalam arti menurut norma
umum, sebab baik menurut seseorang belum tentu baik menurut pendapat orang
lain.
Dengan kata lain, tanggung jawab
adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja
maupun yang tidak disengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai
perwujudan kesadaran akan kewajibannya.
Ada beberapa macam tanggung jawab
antara lain :
1. Tanggung
jawab terhadap dirinya sendiri
Manusia
diciptakan oleh Tuhan mengalami periode lahir, hidup, kemudian mati. Agar
manusia dalam hidupnya mempunyai “harga”, sebagai pengisi fase kehidupannya itu
maka manusia tersebut atas namanya sendiri dibebani tanggung jawab.Sebab
apabila tidak ada tanggung jawab terhadap dirinya sendiri maka tindakannnya
tidak terkontrol lagi.Intinya dari masing-masing individu dituntut adanya
tanggung jawab untuk melangsungkan hidupnya di dunia sebagai makhluk Tuhan.
2.
Tanggung jawab terhadap keluarga
Keluarga
merupakan masyarakat kecil. Keluarga terdiri atas ayah-ibu, anak-anak, dan juga
orang lain yang menjadi anggota keluarga. Tiap anggota keluarga wajib
bertanggung jawab kepada keluarganya. Tanggung jawab itu menyangkut nama baik
keluarga. Tetapi tanggung jawab juga merupakan kesejahteraan, keselamatan,
pendidikan, dan kehidupan.Untuk memenuhi tanggung jawab dalam keluarga
kadang-kadang diperlukan pengorbanan.
3.
Tanggungjawab terhadap masyarakat
Pada
hakekatnya manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain, sesuai dengan
kedudukanya sebagai makhluk sosial. Karena membutuhkan manusia lain, maka ia
harus berkomunikasi dengan manusia lain tersebut. Sehingga dengan demikian
manusia di sini merupakan anggota masyarakat yang tentunya mempunyai tanggung
jawab seperti anggota masyarakat yang lain agar dapat melangsunggkan hidupnya
dalam masyarakat tersebut. Wajarlah apabila semua tingkah laku dan perbuatannya
harus dipertanggung jawabkan kepada masyarakat.
4.
Tanggung jawab terhadap Bangsa /
Negara
Suatu
kenyataan lagi bahwa setiap manusia, setiap individu adalah warga negara suatu
negara.Dalam berfikir, berbuat, bertindak, bertingkahlaku manusia terikat oleh
norma-norma atau ukuran-ukuran yang dibuat oleh negara.Manusia tidak bisa berbuat
semaunya sendiri. Bila perbuatan manusia itu salah, maka ia harus bertanggung
jawabkan kepada negara.
5.
Tanggung jawab terhadap Tuhan
Tuhan
menciptakan manusia di bumi ini bukanlah tanpa tanggung jawabmelainkan untuk
mengisi kehidupannya.Manusia mempunyai tanggung jawab langsung kepada
Tuhan.Sehingga tindakan manusia tidak bisa lepas dari hukum-hukum Tuhan yang
dituangkan dalam berbagai kitab suci melalui berbagai macam agama. Pelanggaran
dari hukum-hukum tersebut akan segera diperingatkan oleh Tuhan dan jika dengan
peringatan yang keraspun manusia masih juga tidak menghiraukan, maka Tuhan akan
melakukan kutukan. Sebab dengan mengabaikan perintah-perintah Tuhan berarti
mereka meninggalkan tanggung jawab yang seharusnya dilakukan manusia terhadap Tuhan
sebagai Penciptanya, bahkan untuk memenuhi tanggung jawabnya, manusia perlu
pengorbanan.
Sikap moral yang
dewasa adalah sikap tanggung jawab. Tanggung jawab memiliki hubungan
dengan kebebasan, dalam kerangka tanggung jawab ini kebebasan mengandung arti :
1. Kemampuan untuk menentukan dirinya
sendiri.
2. Kemampuan untuk bertanggung jawab
3. Kedewasaan manusia.
4. Keseluruhan kondisi yang memungkinkan
manusia melakukan tujuan hidupnya.
Tingkah laku yang didasarkan pada sikap, sistem
nilai dan pola pikir berarti tingkah laku yang berdasarkan kesadaran, bukan
instingtif, melainkan terdapat makna kebebasan manusia. Sejalan dengan adanya
kebebasan atau kesengajaan, orang harus bertanggung jawab terhadap tindakannya.
Ini berarti bahwa ia harus dapat mengatakan dengan jujur kepada kata hatinya,
bahwa tindakkannya itu sesuai dengan penerangan dan tuntutan kata hati, jadi
bahwa dia berbuat baik dan tidak berbuat jahat, setidaknya menurut
keyakinannya.
Dengan demikian, tanggung jawab dalam kernagka
akhlak adalah keyakinan bahwa tindakannya itu baik. Ini pun sesuai dengan
ungkapan Indonesia, yaitu kalau dikatakan bahwa orang yang melakukan kekacauan
sebagai orang yang tidak bertanggung jawab, maka yang dimaksud adalah bahwa
perbuatan yang dilakukan orang tersebut secara moral tidak dapt
dipertanggungjawabkan, mengingat perbuatan itu tidak dapat diterima oleh
masyarakat.
Uraian tersebut menunjukkan bahwa tanggung jawab
erat kaitannya dengan perbuatan yang dilakukan dengan kesadaran. Orang yang
melakukan perbuatan tapi dalam keadaan tidur atau mabuk tidak dapat dikatakan
sebagai perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan, karena perbuatan tersebut
dilakukan bukan karena pilihan akalnya yang sehat. Selain itu tanggung jawab
juga erat hubungannya dengan hati nurani atau intuisi yang ada dalam diri
manusia yang selalu menyuarakan kebenaran. Seseorang dapat dikatakan
bertanggung jawab apabila secara intuisi perbuatannnya itu dapat
dipertanggungjawabkan pada hati nurani dan kepada masyarakat pada umumnya.
C. HATI NURANI
Hati nurani atau intuisi merupakan tempat di mana
manusia dapat memperoleh saluran ilham dari Tuhan. Hati nurani ini selalu
cenderung kepada kebaikan dan tidak suka kepada keburukan. Atas dasar inilah
muncul aliran intuisisme, yaitu paham yang meyatakan bahwa perbuatan yang baik
adalah perbuatan yang sesuai dengan kata hati, sedangkan perbuatan yang buruk
adalah perbuatan yang tidak sejalan dengan kata hati atau hati nurani.[8]
Hati nurani harus menjadi salah satu dasar pertimbangan dalam melaksanakan
kebebasan yang ada dalam diri manusia, yaitu kebebasan yang tidak menyalahi
atau membelenggu hati nuraninya, karena kebebasan yang demikian itu pada
hakikatnya dapat merugikan secara moral. Hati nurani dapat dibedakan menjadi dua jenis,
yaitu retrospektif dan prospektif. Hati nurani restrokpektif mampu memberikan
penilaian tentang baik atau buruknya suatu perbuatan yang dilakukan seseorang
pada masa lalu. Hati nurani prospeksi mampu memberikan penilaian tentang baik
atau buruknya seseorang kemasa depan.[9]
Dalam konteksnya hati nurani terbagi menjadi tiga
sifat yaitu personal, adipersonal, dan mutlak. Hati nurani bersifat personal
selalu berkaitan erat dengan pribadi bersangkutan serta sering berbicara atas
nama saya atau hanya pemberi penilaian tentang perbuatan dirinya sendiri. Hati
nurani bersifat adipersonal merupakan bentuk hati nurani yang kita sebagai individu
hanya menjadi pendengar, serta terlihat aspek trasenden yang melebihi pribadi
kita. Hati nurani bersifat mutlak merupakan bentuk sifat khas hati nurani yang
berlaku mutlak, atau posisi disaat hati nurani yang mendesak hati kita untuk
menaati bisikkannya seakan-akan menyadarkan kita terhadap kewajiban atau
mengingatkan kita kepada suatu hal yang harus atau tidak boleh kita lakukan.[10] Perasaan manusia yang paling
mendalam biasanya disebut dengan kata hati, atau hati nurani. Nurani berasal dari kata Arab nur (nuraniyyun) yang artinya
cahaya.Jadi hati nurani dapat disebut sebagai cahaya hati, atau lubuk hati yang
terdalam.
Dalam Al-Qur’an, nurani atau kata hati
disebut dengan kata bashirah yang dapat diterjemahkan dalam pandangan mata hati
(QS. 75 : 15) sebagai lawan dari pandangan mata. Jika qalbu yang memiliki
karakter tidak konsisten itu masih dapat menipu diri dan pura-pura tidak tahu,
maka nurani tetap jujur dan peka.
Nurani yang
terpelihara, ibarat cermin yang bersih, yang dapat menampakan wajah apa adanya.
Orang yang sering melakukan kejahatan, nuraninya bagaikan cermin yang tersiram
cairan hitam sehingga hanya sedikit saja yang menampakan wajah asli pemiliknya,
sedangkan orang yang melakukan kejahatan secara terbuka sebagaimana ia
melakukan kebaikan (mencampur adukan kebaikan dan kejahatan) cermin nuraninya
retak sehingga tidak mampu menampakan wajah pemiliknya seperti apa adanya.
Jadi, jika nafs digambarkan seperti ruang yang luas di dalam diri manusia, dan
qalbu merupakan kamar kecil di dalam ruang itu, maka nurani merupakan kotak
kecil yang tersembunyi secara rapih dan kuat di dalam kamar qalbu.
Dalam ilmu
tasawuf, nurani disebut sebagai nurun
yaqdzifuhullloh fi al qalbi, yakni cahaya yang ditempatkan Tuhan di dalam
hati atau cahaya ketuhanan, oleh karena itu nurani tidak bisa kompromi dengan
kebohongan atau kejahatan.Karena nurani itu cahaya, maka efektifitasnya
bergantung apakah terbuka atau tertutup. Cahaya nurani dapat tertutup oleh
keserakahan dan perbuatan maksiat. Jika cahaya nurani tertutup maka orang itu seperti
berjalan di tempat gelap, salah ambil, salah masuk, salah taroh dan sebagainya.
Menurut
bahasa, kata nurani berasal dari kata nuurun dan ainii berarti
cahaya mata saya. Menurut Istilah, yaitu partikel kecil (microchip)
hidayah yang diamanatkan oleh Allah. Dengannya secara fitrah, manusia bisa
mengenali dirinya dan Tuhannya.
Mengetahui
yang benar dan yang salah.Rasulullah Saw bersabda, “Mintalah fatwa dari hati
nurani kita, kebenaran adalah apabila nurani dan jiwamu tenang terhadapnya
sementara dosa apabila hati mu gelisah” (HR.Ahmad).
Ini tentunya
terjadi apabila hati nurani berfungsi dengan baik, dalam keadaan hidup dan
sehat. Ketika kita berbohong dengan orang lain misalnya, bisa jadi manusia
tidak pernah tahu tentang kebohongn kita tetapi nurani sehat kita akan
melahirkan perasaan bersalah dan tertekan karena dosa tersebut. Rasulullah Saw
mendefiniskan dosa sebagai "sesuatu yang akan menimbulkan perasaan
yang tidak nyaman dan tertekan dalam hati. Di samping itu, pelakunya tidak
menyukai orang lain tahu perbuatan tersebut." Artinya, nurani kita akan
menolak saat kita hendak melakukan perbuatan dosa sekecil apapun.
Semua
kejadian bisa diingat oleh hati nurani, karena hati nuranilah yang kelak akan
menjadi saksi di hadapan Allah. Firman Allah: “Maka apakah dia tidak
mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur, dan dilahirkan apa
yang ada di dalam dada” (QS. al-Adiyat: 9 -10). Jadi, hati nurani memiliki nuur
(ber-cahaya), tidak menyilaukan tapi memberi penerangan sebagai petunjuk.
Oleh
karena itu, ketika hati nurani dibelenggu hawa nafsu, hati nurani bisa
kehilangan ruh-nya, cahayanya semakin pudar sehingga pada akhirnya tidak
dapat membedakan halal dan haram.Dalam keadaan seperti itu, manusia disebut
buta yang sebenar-benarnya karena mata jika tertutup menjadi gelap tidak tahu
halal dan haram. Orang yang secara lahiriyah tidak dapat melihat tapi
mata hatinya bening maka ia lebih baik dari orang yang buta mata hati. Oleh
karena itu buta yang sebenarnya adalah buta adalah buta mata hati (hati nurani)
bukan buta mata kepala (Lihat: QS. al-Hajj [22]: 46).
Nurani ada
dalam ranah spiritual, kematian nurani merupakan krisis spiritual. Beberapa
ahli psikologi menyebutkan fenomena ini dengan beberapa istilah, seperti spritual
alienation (keengganan spirtual), spiritual illness(penyakit hati), spiritual
emergency (krisis spiritual). Krisis spiritual berlanjut pada eksistensi
diri sebagaimana disebut Carl Gustav Jung sebagai existensial liness
(krisis eksistensi).Semua ini bermuara pada semakin lemahnya kecenderungan dan
kemampuan manusia dalam mengenal Tuhannya dengan segala perintah dan
larangan-Nya. Dalam bahasa sederhana, bisa dikatakan sebagai proses lemahnya
iman kepada Tuhan. Inilah sebenarnya pemasalahan kita semua yang telah
melahirkan berbagai krisis.
Dari pemahaman kebebasan yang telah diuraikan dalam
beberapa penjelasan diatas, maka timbullah tanggung jawab, yaitu bahwa
kebebasan yang diperbuat itu secara hati nurani dan moral harus dapat
dipertanggungjawabkan oleh orang yang melakukannya tersebut.
D. HUBUNGAN KEBEBASAN, TANGGUNG JAWAB DAN
HATI NURANI DENGAN AKHLAK
Pada uraian diatas telah disinggung bahwa suatu
perbuatan baru dapat dikategorikan sebagai perbuatan akhlaki atau perbuatan
yang dapat dinilai berakhlak apabila perbuatan tersebut dilakukan atas kemauan
sendiri, bukan paksaan dan bukan pula dibuat-buat melainkan dilakukan dengan
tulus ikhlas. Untuk mewujudkan perbuatan akhlak yang ciri-cirinya demikian baru
bisa terjadi apabila orang yang melakukannya memiliki kebebasan atau kehendak
yang timbul dari dalam dirinya sendiri. Dengan demikian, perbuatan yang berakhlak
itu adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja secar bebas. Disinilah letak
hubungan antara kebebasan an perbuatan akhlak.
Perbuatan akhlak juga harus dilakukan atas kemauan
sendiri dan bukan paksaan. Perbuatan yang demikianlah yang dapat dimintai pertanggungjawabannya
dari orang yang melakukannya. Disinilah letak hubungan antara tangung jawab dan
akhlak. Perbuatan akhlak juga harus muncul dari keikhlasan hati yang
melakukannya, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada hati sanubari, maka
hubungan akhlak dengan hati nurani menjadi demikian penting.
Dengan demikian, masalah kebebasan, tanggung jawab
dan hati nurani adalah faktor dominan yang menentukan suatu perbuatan dapat
dikatakan sebagai perbuatan akhlaki. Disinilah letak hubungan fungsional antara
kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani tersebut dengan akhlak, karena dalam
membahas akhlak, seseorang tidak dapat meninggalkan pembahasan mengenai
kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani karena ketiganya saling berkaitan.[11]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Kebebasan
Seperti yang telah dikemukakan oleh Ahmad
Charris Zubair bahwa kebebasan adalah terjadi apabila kemungkinan-kemungkinan
untuk bertindak tidak dibatasi oleh paksaan atau keterikatan kepada orang lain.
2.
Tanggung Jawab
Tanggung
jawab dalam kerangka akhlak adalah keyakinan bahwa tindakannya itu baik.
3.
Hati Nurari
Hati
nurani (intuisi) merupakan tempat dimana manusia dapat
memperoleh saluran ilham dari Tuhan
dan selalu cenderung kepada kebaikan dan tidak suka kepada keburukan.
4. Hubungan Kebebasan, Tanggung Jawab, Hati Nurani Dan Akhlak
Perbuatan
berakhlak adalah perbuatan yang dilakukan secara sengaja dan bebas. Disinilah letak hubungan akhlak dan
kebebasan. Akhlak juga harus dilakukan
atas kemauan sendiri dan bukan paksaan. Perbuatan
seperti ini disebut perbuatan yang bertanggung jawab. Disinilah letak hubungan akhlak dan tanggung jawab. Terakhir,
Perbuatan akhlak juga harus muncul dari keikhlasan hati yag melakukanya dan
dapat dipertaggung awabkan kepada hati sanubari, maka disinilah hubungan akhlak
dan hati nurani.
B.
Saran
Diharapkan
ada saran yang membangun dari
pembaca, khususnya dari Bapak Dosen agar kami bisa lebih baik lagi dalam pembuatan makalah.
DAFTAR PUSTAKA
Amin Ahmad, Ilmu Akhlak, terj. Farid Mahfud,
Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Atosokhi Gea Antonius, Relasi Dengan Tuhan, Jakarta: PT Elex
Media Komputindo, 2004.
Bertens K, Etika, Jakarta: PT Gramedia Pustaka,
2007.
Charris Zubair Ahmad, Kuliah Etika,cet.1, Jakarta: Rajawali Pers, 1990.
Nata Abuddin, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2013.
[1] Abuddin
Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2013), h. 109.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar