IMAN
DALAM AL-QUR’AN SURAT AL-BAQOROH AYAT 156
Makalah
ini Disusun Guna Memenui Tugas Mata Kuliah Qur’an Hadits
Dosen
Pengampu : Supriyatmoko, M.Si
Disusun
Oleh Kelompok 7 :
Anita
Anggraini 1611050220
Dhurotun Nasihah 1611050356
M.
Sukma Wijaya 1611050294
PENDIDIKAN
MATEMATIKA
FAKULTAS
TARBIAH DAN KEGURUAN
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
1438
H/2016 M
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya
kami dapat mennyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “IMAN DALAM
AL-QUR’AN : Surat Al-Baqarah Ayat 156” dengan tepat waktu dan lancar tanpa
suatu halangan apapun. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Qur’an dan Hadits.
Terima
kasih kami ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini. Terima kasih juga kami ucapakan kepada bapak Supriyatmoko, M.Si.
selaku dosen pengampu yang telah memberikan arahan dalam penyusunan makalah
ini.
Makalah
ini masih jauh dari kata sempurna. Karena masih banyak terdapat kekurangannya.
Atas segala kekurangannya kami mohon maaf dan semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua yang membacanya dan khususnya bagi kami yang
menyusunnya.
Bandar
Lampung, Oktober 2016
Penyusun
DAFTAR
ISI
COVER
KATA
PENGANTAR.............................................................................................
i
DAFTAR
ISI..........................................................................................................
ii
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang.............................................................................................1
B.
Rumusan Masalah........................................................................................1
C.
Tujuan.........................................................................................................1
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Iman..........................................................................................
2
B.
Kandungan Surat
Al-Baqoroh ayat 156....................................................
19
BAB
III PENUTUP
A.
Kesimpulan...............................................................................................
25
B.
Saran.........................................................................................................25
DAFTAR
PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Qur’an Hadis dengan dosen pengampu
Bapak Supriyatmoko, M.Si, dalam makalah membahas mengenai iman dalam Al-Qur’an
surat Al-Baqoroh ayat 156. Iman yaitu percaya atau meyakini. Salah satu hal yang membedakan antara derajat
manusia yang satu dengan lainnya ialah imannya yang mendalam kepada Allah dan
keyakinannya bahwa apapun peristiwa yang terjadi di alam ini dan apa pun yang
terjadi pada diri manusia adalah ketentuan Allah, dimana iman
merupakan anugerah yang terbesar dari Allah SWT.
Karena iman sebagian manusia mau menerima ajaran
agama islam sebagai ajaran yang haq, karena iman pula manusia melakukan
berbagai amal kebaikan, dengan kata lain jika kita memiliki iman yang kuat maka
akan semakin mendekatkan diri kita kepada Allah SWT. Dan sebagai kunci utama
kita harus mengimani rukun iman yang enam, yaitu iman kepada Allah, iman kepada
malaikat Allah, iman kepada kitab-kitab Allah, iman kepada Rasul Allah, iman
kepada hari akhir, dan iman kepada qada dan qadar.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian iman?
2. Apa
kandungan surat Al-Baqoroh ayat 156 mengenai iman?
C.
Tujuan
1. Mengetahui
dan memahami pengertian iman.
2. Memahami
isi kandungan surat Al-Baqoroh ayat 156 mengenai iman.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Iman
Kata iman
berasal dari bahasa Arab الإيمان
yang artinya percaya. Sedangkan menurut istilah, pengertian
iman adalah membenarkan dengan hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan
dengan tindakan (perbuatan). Iman secara bahasa berarti tashdiq
(membenarkan). Sedangkan secara istilah syar’i, iman adalah "Keyakinan
dalam hati, Perkataan di lisan, amalan dengan anggota badan, bertambah dengan
melakukan ketaatan dan berkurang dengan maksiat". Para ulama salaf
menjadikan amal termasuk unsur keimanan. Oleh sebab itu iman bisa bertambah dan
berkurang, sebagaimana amal juga bertambah dan berkurang".[1]
Pengertian iman dalam sebuah hadist yang
di riwayatkan oleh Hadist Abu Hurairah ra.dimana ia berkata: “pada suatu hari
annati nabi berada ditengah-tengah para sahabat,lalu ada seseorang datang
kepada beliau lantas bertanya:”apakah iman itu?” lalu beliau menjawab:iman
adalah kamu percaya kepada Allah dan malaikat-Nya,rasul-rasul-Nya,dan percaya
adanya hari kebangkitan(setelah mati).[2]
Dengan demikian, pengertian iman kepada Allah adalah membenarkan dengan hati
bahwa Allah itu benar-benar ada dengan segala sifat keagungan dan kesempurnaan-Nya,
kemudian pengakuan itu diikrarkan dengan lisan, serta dibuktikan dengan amal
perbuatan secara nyata.
Jadi,
seseorang dapat dikatakan sebagai mukmin (orang yang beriman) sempurna apabila
memenuhi ketiga unsur keimanan di atas. Apabila seseorang mengakui dalam
hatinya tentang keberadaan Allah, tetapi tidak diikrarkan dengan lisan dan
dibuktikan dengan amal
perbuatan,
maka orang tersebut tidak dapat dikatakan sebagai mukmin yang sempurna. Sebab,
ketiga unsur keimanan tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak
dapat dipisahkan.
Iman menurut istilah
tauhid adalah membenarkan dalam hati, mengikrarkan dengan lisan, dan
mengamalkan dengan perbuatan. Dalam pemahaman lain dapat diartikan bahwa iman
adalah menetapkan keyakinan akan sebuah kebenaran dalam hati, kemudian
keyakinan itu diikrarkan dengan lisan, dan diwujudkan dalam perbuatan nyata.
Dalam Jami’ al-Ushul fi al-Auliya’, hlm. 331 disebutkan bahwa iman memiliki karakter sesuai dengan makhluk yang memilikinya. Ada iman yang tetap, ada pula yang terus bertambah. Ada yang kadang berkurang, kadang juga bertambah. Ada pula yang didiamkan, dan ada pula yang imannya ditolak. Dengan demikian definisi iman memiliki 5 karakter: keyakinan hati, perkataan lisan, dan amal perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang.
Dalam Jami’ al-Ushul fi al-Auliya’, hlm. 331 disebutkan bahwa iman memiliki karakter sesuai dengan makhluk yang memilikinya. Ada iman yang tetap, ada pula yang terus bertambah. Ada yang kadang berkurang, kadang juga bertambah. Ada pula yang didiamkan, dan ada pula yang imannya ditolak. Dengan demikian definisi iman memiliki 5 karakter: keyakinan hati, perkataan lisan, dan amal perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang.
Imam Syafi’i berkata, “Iman itu meliputi perkataan dan
perbuatan. Dia bisa bertambah dan bisa berkurang. Bertambah dengan sebab
ketaatan dan berkurang dengan sebab kemaksiatan.” Imam Ahmad berkata, “Iman
bisa bertambah dan bisa berkurang. Ia bertambah dengan melakukan amal, dan ia
berkurang dengan sebab meninggalkan amal. Imam Bukhari mengatakan, “Aku telah
bertemu dengan lebih dari seribu orang ulama dari berbagai penjuru negeri, aku
tidak pernah melihat mereka berselisih bahwasanya iman adalah perkataan dan
perbuatan, bisa bertambah dan berkurang.”[3]
Unsur-unsur yang membentuk keimanan
seseorang itu ada 3, yaitu :
1. Pengetahuan Hati (مَعْرِفَةٌ بِاْلقَلْبِ
) Berbicara tentang iman, tentu berbicara tentang keyakinan. Maka secara mutlak
orientasi pembahasan di titik beratkan pada jiwa seseorang atau lazimnya di
sebut “qalbu”. Hati merupakan pusat dari satu keyakinan, kita semua sepakat
bahwa dalam diri manusia terdapat dua unsur pokok kejadian, terbentuknya jazad
dan rohani, apabila keduanya pincang atau salah satu di antaranya kurang, maka
secara mutlak tidak mungkin terbentuk makhluk yang bernama manusia. Orang yang
beriman hatinya harus ma’rifat kepada Allah, mengetahui siapakah Allah itu,
karena tanpa mengenal Allah mustahil seseorang akan beriman kepada Allah.
2. Pengucapan Lisan (قَوْلٌ
بِالِّلسَانِ) Setelah mengenal
Allah dan meyakini dengan sepenuh hati, seorang mukmin diwajibkan mengakui dan
mengikrarkan dengan lisan, yakni dengan mengucapkan dua kalimat syahadah .
3. Pengamalan dengan anggota badan (وَعَمَلٌ بِاْلأَرْكَانِ). Amal merupakan unsur dari iman.
Identitas seorang
mukmin terletak pada sifat dan sikapnya. Dalam hadits-hadits Nabi, sangat
banyak disebutkan tentang masalah keimanan. Tetapi sebagian besar kaum muslim
tidak memahami bahkan salah memahami bagaimana keimanan itu. Sehingga banyak
kaum muslim yang mengaku beriman tetapi mereka tidak sama sekali
mengaplikasikan substansi keimanan tersebut. Ada orang yang rajin shalat,
tetapi korupsinya juga rajin. Ada yang giat bersedekah, tetapi masih suka
mengambil uang negara. Hal ini mengindikasikan bahwa ada yang salah dalam
pengamalan ajaran-ajaran Islam. Ciri-ciri (Identitas) seorang Mukmin dapat
terlihat dari sifat dan sikapnya.
1.
Orang mukmin
akan mencintai Allah dan Rosul-Nya melebihi cinta kepada makhluk-Nya. Sabda
Rasulullah : ”Telah menceritakan kepada
kami Ishaq ibn Ibrahim dan Muhammad ibn Yahya ibn Abi ‘Umar serta Muh}ammad ibn
Basysyar semuanya dari al-Saqafi berkata Ibnu Abi ‘Umar telah menceritakan
kepada kami ‘Abd al-Wahhab dari Ayyub dari Abu Qilabah dari Anas dari Nabi
saw., dia berkata, "Tiga perkara jika itu ada pada seseorang maka ia akan
merasakan manisnya iman; orang yang mana Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai
daripada selain keduanya, mencintai seseorang yang ia tidak mencintainya
kecuali karena Allah, dan benci untuk kembali kepada kekafiran setelah Allah
menyelamatkannya dari kekafiran tersebut sebagaimana ia benci untuk masuk
neraka”.(H.R. Bukhari dan Muslim)
2.
Orang mukmin
akan menghormati tamunya.
3.
Orang yang
beriman tidak akan menyakiti tetangganya.
4.
Orang yang
beriman tidak akan berkata kotor. Sabda Rasulullah SAW : “Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu: Sesungguhnya Rasulullah SAW
telah bersabda: barang siapa yang beriman kepada Allah hari akhir maka
hendaknya dia berkata yang baik atau diam, barang siapa yang beriman kepada
Allah hari akhir maka hendaknya dia mengormati tetangganya dan barang siapa
yang beriman kepada Allah hari akhir maka hendaknya dia menghormat tamunya.”
(H.R. Bukhari dan Muslim).
5.
Orang yang
beriman akan selalu mencegah kemunkaran. Sabda Rasulullah SAW : “Dari Abu Sa’d Al-Khudriy Radhiyallahu
‘Anhu, beliau berkata : Saya pernah mendengar Rasulallah SAW berkata: barang
siapa diantara kalian melihat suatu kemunkaran maka hendaknya dia merubah
dengan kekuasannya, apabila dia merasa tidak mampu maka dengan lisannya, maka
apabila dia tidak mampu hendaknya dia membenci kemunkaran tersebut dengan
hatinya, yang demikian itu adalah tingkatan iman yang paling lemah .” (H.R.
Muslim).
Kualitas keislaman
manusia terletak sejauh mana memperlakukan muslimin yang lain. Iman bagi orang
muslim merupakan pondasi utama dari kesadaran keagamaannya yang dalam berbagai
wacana keagamaan senantiasa diperingatkan agar dijaga dan diperkuat serta penuh
makna dan tafsiran. Peringatan tentang iman itu dari sumber aslinya (Al-Qur’an)
berkait erat dengan amal perbuatan yang merupakan tuntutan langsung dari iman
spiritual itu, sehingga tidak ada iman tanpa amal. Ekspresi iman orang mukmin
adalah melaksanakan perintah Tuhan, baik berkaitan langsung dengan Tuhan maupun
dengan manusia (habuml min Allah dan habum min al-nas). Kualitas (baik
buruknya) keislaman manusia terletak sejauh mana seorang muslim memperlakukan
muslimin yang lain.
Dari Umar Radhiyallahu
‘Anhu, sesungguhnya Beliau telah berkata : “Nabi
SAW pernah ditanya tentang beberapa hamba Allah yang lebih dicintai oleh Allah,
maka beliau menjawab: “Dia adalah yang berpaling bermanfaat bagi manusia lain”.
kemudian ditanya tentang tentang beberapa amal yang paling dicintai Allah, maka
beliau menjawab:”membahagiakan orang mukmin, menghilangkan kelaparan atau
kesedihannya atau membayarkan hutangnya, ...” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Hadits di atas
memberikan penjelasan bahwa seorang muslim yang paling dicintai oleh Allah
adalah seorang muslim yang memperlakukan muslim lainnya dengan cara yang baik.
Karena sebenarnya inti dari ajaran agama islam hanya ada dua, yaitu: beramal
sholih karena Allah dan berakhlak baik kepada manusia (hablum min Allah dan hablum
min al-nas). Kaitannya dalam memperlakukan muslimin yang lain kualitas
keislaman seseorang dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:
1. Tingkatan yang terendah Seorang muslim yang baik,
dia tidak akan membuat orang lain sakit hati, seperti contoh: tidak online
facebook atau memutar musik ketika sedang ada presentasi atau ketika dosen
sedang menerangkan materi kuliah. Karena yang demikian dapat membuat membuat
dosen sakit hati. “Dari Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘Anhu: Sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda: barang siapa
yang beriman kepada Allah hari akhir maka hendaknya dia mengormati (tidak
menyakiti) tetangganya (orang yang berada di sekelilingnya” . (H.R. Bukhari
dan Muslim).
2. Tingkatan yang sedang Seorang muslim yang baik,
selain dia tidak menyakiti orang lain dia juga berbuat sesuatu yang membawa
kemanfaatan bagi orang lain, seperti contoh: memberi makan tetangga ketika
sedang kelebihan makanan, sebagaimana sabda Rasulullah yang artinya: “tidak dinamakan orang iman, orang yang
kenyang sedang tetangganya sedang kelaparan”.
3. Tingkatan yang tertinggi Seorang muslim yang baik
selain mengamalkan tingkatan yang pertama dan kedua, dia juga memiliki sifat
sabar, tidak membalas dengan kejahatan ketika sedang dijahati orang lain, akan
tetapi dia malah membalasnya dengan suatu kebaikan. “jika kamu ingin melebihi derajat golongan shiddiqiin, maka sambunglah
kembali orang yang yang telah memutus tali persaudraan denganmu, dan berilah
orang yang tidak pernah memberimu dan maafkanlah orang yang telah menyakitimu”.
Jika ketiga tingkatan ini diamalkan oleh
seluruh penganut agama islam di penjuru dunia, maka kita tidak akan pernah
mendengar adanya peperangan, pembubuhan, pencurian dan segala macam kejahatan
yang telah ada. Dan inilah sebenarnya misi yang terkandung dalam ajaran islam,
yakni sebagai Rahmatan lil ‘alamiin. Ada dua perbedaan yang mendasar mengenai
iman, yaitu iman kamil dan iman naqis.[4]
Dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 14 dijelaskan hakikat iman dan siapa
sebenarnya yang dinilai oleh Allah sebagai orang mukmin. Menurut sayyid Quthb,
ayat ini menjelaskan hakikat yang merupakan hakikat akidah, syariah dan
eksistensi kemanusiaan.[5]
Rukun iman, (bahasa Arab: أركان الإيمان) yaitu pilar-pilar keimanan dalam Islam yang harus dimiliki seorang muslim. Jumlahnya ada enam. Enam rukun iman ini didasarkan dari
ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadis.
1. Iman kepada Allah SWT
Kita mengimani Rububiyah Allah SWT,
artinya bahwa Allah adalah Rabb: Pencipta, Penguasa dan Pengatur segala yang
ada di alam semesta ini. Kita juga harus mengimani uluhiyah Allah SWT artinya
Allah adalah Ilaah (sembahan) yang hak, sedang segala sembahan selain-Nya
adalah batil. Keimanan kita kepada Allah belumlah lengkap kalau tidak mengimani
Asma’ dan Sifat-Nya artinya bahwa Allah memiliki nama-nama yang maha indah
serta sifat-sifat yang maha sempurna dan maha luhur. Dan kita mengimani keesaan
Allah SWT dalam hal itu semua, artinya bahwa Allah SWTtiada sesuatupun yang
menjadi sekutu bagi-Nya dalam rububiyah, uluhiyah, maupun dalam Asma’ dan
sifat-Nya. Firman Allah SWT yang artinya:
“(Dia adalah) Tuhan seluruh langit dan bumi serta semua yang
ada di antara keduanya. Maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat
kepada-Nya. Adakah kamu mengetahui ada sesuatu yang sama dengan-Nya (yang patut
disembah)?”.
(QS. Maryam: 65)
“Tiada sesuatupun
yang serupa dengan-Nya. Dan Dia-lah yang maha mendengar lagi Maha melihat”. (QS. Asy-Syura:11)
2. Iman Kepada Malaikat Allah
Mengimani para malaikat Allah yakni
dengan meyakini kebenaran adanya para malaikat Allah SWT. Dan para malaikat
itu, merupakan hamba Allah, sebagaimana firman-Nya, yang artinya:
”Sebenarnya (malaikat-malaikat itu) adalah hamba-hamba yang
dimuliakan, tidak pernah mereka itu mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka
mengerjakan perintah-perintah-Nya.” (QS. Al-anbiya: 26-27)
Mereka diciptakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka mereka beribadah kepada-Nya dan mematuhi segala perintah-Nya. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’, yang artinya:
” …Dan malaikat-malaikat yang disisi-Nya mereka tidak
bersikap angkuh untuk beribadah kepada-Nyadan tiada (pula) merasa letih. Mereka
selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.” (QS. Al-Anbiya: 19-20).
3. Iman Kepada Kitab Allah
Kita mengimani bahwa Allah SWT telah
menurunkan kepada rasul-rasul-Nya kitab-kitab sebagai hujjah buat umat manusia
dan sebagai pedoman hidup bagi orang-orang yang mengamalkannya, dengan
kitab-kitab itulah para rasul mengajarkan kepada umatnya kebenaran dan
kebersihan jiwa mereka dari kemuysrikan. Firman Allah SWT, yang artinya:
”Sungguh, kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan
membawa bukti-bukti yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka Al-kitab
dan neraca (keadilan) agar manusia melaksanakan keadilan…”. (QS. Al-Hadid: 25)
Dari kitab-kitab itu ialah :
a. Taurat, yang Allah turunkan kepada nabi Musa alaihi sallam,
sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Maidah: 44.
b. Zabur, ialah kitab yang diberikan Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada
Daud alaihi sallam.
c. Injil, diturunkan Allah kepada nabi Isa, sebagai pembenar dan
pelengkap Taurat. Firman Allah : ”…Dan Kami telah memberikan kepadanya (Isa)
injil yang berisi petunjuk dan nur, dan sebagai pembenar kitab yang sebelumnya
yaitu Taurat, serta sebagai petunjuk dan pengajaran bagi orang-orang yang
bertaqwa.” (QS : Al-Maidah : 46).
Shuhuf (lembaran-lembaran) yang diturunkan kepada nabi Ibrahim dan Musa.
d. Al-Quran, kitab yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala turunkan kepada Nabi
Muhammad shalallohu ‘alahi wa sallam, penutup para nabi. Firman Allah Subhanahu
Wa Ta’ala, yang artinya: ” Bulan Ramadhan yang diturunkan padanya
(permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi umat manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang haq dan
yang batil…” (QS. Al Baqarah: 185).
4. Iman Kepada Rasul-Rasul
Kita mengimani bahwa Allah WT telah
mengutus rasul-rasul kepada umat manusia, Firman Allah SWT, yang artinya:
”(Kami telah mengutus mereka) sebagai rasul-rasul pembawa
berita genbira dan pemberi peringatan, supaya tiada alasan bagi manusia
membantah Allah sesudah (diutusnya) rasul-rasul itu. Dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.”
(QS. An-Nisa: 165).
Kita mengimani bahwa rasul pertama
adalah nabi Nuh dan rasul terakhir adalah Nabi Muhammad shalallohu ‘alahi wa
sallam, semoga shalawat dan salam sejahtera untuk mereka semua. Firman Allah SWT,
yang artinya:
”Sesungguhnya Kami telahmewahyukan kepadamu sebagaimana Kami
telah mewahyukan kepada Nuh dan nabi-nabi yang (datang) sesudahnya…” (QS. An-Nisa: 163).
5. Iman Kepada Hari Kiamat
Kita mengimani kebenaran hari
akhirat, yaitu hari kiamat, yang tiada kehidupan lain sesudah hari tersebut. Untuk
itu kita mengimani kebangkitan, yaitu dihidupannya semua mahkluk yang sesudah
mati oleh Allah SWT. Firman Allah SWT, yang artinya:
”Dan ditiuuplah sangkakala, maka matilah siapa yang ada
dilangit dan siapa yang ada di bumi kecuali yang dikehendaki Allah. Kemudian
ditiup sangkakala itu sekali lagi, maka tiba-tiba mereka bangkitmenunggu
(putusannya masing-masing).” (QS. Az-Zumar: 6)
Kita mengimani adanya
catatan-catatan amal yang diberikan kepada setiap manusia. Ada yang
mengambilnya dengan tangan kanan dan ada yang mengambilnya dari belakang
punggungnya dengan tangan kiri. Firman Allah SWT, yang artinya: “Adapun
orang yang diberikan kitabnya dengan tangan kanannya, maka dia akan diperiksa
dengan pemeriksaan yang mudah dan dia akan kembali kepada kaumnya (yang
sama-sama beriman) dengan gembira. Adapun orang yang diberikan kitabnya dari
belakang punggungnya, maka dia akan berteriak celakalah aku dan dia akan masuk
neraka yang menyala.” (QS.
Al-Insyiqaq: 13-14).
6.
Iman Kepada Qada dan Qadar
Kita juga mengimani qadar (takdir) ,
yang baik dan yang buruk; yaitu ketentuan yang telah ditetapkan Allah untuk
seluruh mahkluk-Nya sesuai dengan ilmu-Nya dan menurut hikmah kebijakan-Nya.
Qada artinya ketetapan, sedangkan qadar artinya batasan atau ukuran (terbatas).[6]
Supaya qodo dan qodar bermanfaat bagi seluruh makhluk yang diciptakan,maka
Allah menentukan takdir ny. Takdir adalah hokum ketetapan perpaduan antara qodo
dan qodar melahirkan takdir. Dalam setiap kejadian ada hukum ketetapan nya ada
takdirnya.[7]
Iman
kepada qadar ada empat tingkatan:
a. ‘Ilmu, ialah mengimani bahwa Allah Maha
tahu atas segala sesuatu,mengetahui apa yang terjadi, dengan ilmu-Nya yang
Azali dan abadi. Allah sama sekali tidak menjadi tahu setelah sebelumnya
tidakmenjadi tahu dan sama sekali tidak lupa dengan apa yang dikehendaki.
b. Kitabah, ialah mengimani bahwa Allah telah
mencatat di Lauh Mahfuzh apa yang terjadi sampai hari kiamat. Firman Allah SWT,
yang artinya:
”Apakah kamu tidak mengetahui bahwa Allah mengetahui apa
yang ada di langit dan di bumi. sesungguhnya tu (semua) tertulis dalam sebuah
kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya Allah yang demikian itu amat mudah bagi
Allah.” (QS. Al-Hajj: 70)
c. Masyi’ah, ialah mengimani bahwa Allah
Subhanahu Wa Ta’ala. telah menghendaki segala apa yang ada di langit dan di
bumi, tiada sesuatupun yang terjadi tanpa dengan kehendak-Nya. Apa yang
dikehendaki Allah itulah yang terjadi dan apa yang tidak dikehendaki Allah
tidak akan terjadi.
d. Khal, ialah mengimani Allah Subhanahu Wa
Ta’ala. adalah pencipta segala sesuatu. Firman Allah SWT, yang artinya:
”Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala
sesuatu. Hanya kepunyaan-Nyalah kunci-kunci (perbendaharaan) langit dan bumi.” (QS.
Az-Zumar: 62-63).
Keempat tingkatan ini meliputi apa
yang terjadi dari Allah SWT sendiri dan apa yang terjadi dari mahkluk. Maka
segala apa yang dilakukan oleh mahkluk berupa ucapan, perbuatan atau tindakan
meninggalkan, adalah diketahui, dicatat dan dikehendaki serta diciptakan oleh
Allah SWT. Membicarakan Rukun Iman, mau tak mau kita harus masuk kedalam
Tauhid, yang bagi sebagian orang tidak mau mempelajari, karena itu hanya hak
Allah saja.
Iman atau keyakinan mempunyai tingkatan sebagai berikut:
Pertama:
Yakin adanya Allah, karena mendengar kata orang, kata guru, bahkan kata burung,
ini disebut "Ilmu ul Yaqin". Suatu keyakinan yang bersifat
"imitasi". Shalat juga karena ikut-ikutan, tentu semua itu tidak akan
berbekas.
Kedua :
Yakin adanya Allah karena membaca Kitab, lalu diterjemahkan secara lahiriah.
Dan melihat, mempelajari kepada alam terbentang sebagai ciptaan Tuhan.Kemudian
mendapatkan rezeki dunia yang berkecukupan, maka diakuinyalah adanya Allah, ini
disebut "Ainul Yaqin". Secara sosiologi, keyakinan demikian disebut
pengaruh "sugesti". Semua sugesti, bila tidak digali dan dicari, maka
hasilnya juga nihil. Pada tingkat ini, apa yang akan terjadi atas dirinya
sewaktu hari berbangkit, tidaklah dia akan mengerti. Oleh sebab itu kepuasan
bathin belumlah berhenti sampai disitu.
Ketiga :
Yakin adanya Allah, karena merasakan kehadiran Allah ada bersamanya. Dan sering
mengadakan renungan seperti Nabi saw memasuki Gua Hira di bukit Jabbar Nur.
Atau seperti yang dilakukan oleh pemuda-pemuda sebelum memasuki Gua Khafi, ini
disebut "Haqqul Yaqin". Pada tingkat ini terjadilah suatu pemahaman
kehadiran Allah bersamanya, yang disebut juga "Simpati". Mulailah
berbicara mata bathin, Penglihatan disini masih disebut bathin yang lahir.
Namun pengetahuan terhadap hari berbangkit atas dirinya sudah mulai terasa dan
terbaca.
Keempat
: Yakin adanya Allah, sebab sudah dibuktikan dan disaksikan. Dan terasa
nikmatnya berhubungan dengan Yang Maha Terang (Tuhan yang menciptakan langit
dan bumi), lalu beriman kepada Tuhan, ini disebut "Isbat ul Yaqin".
Identifikasi dalam suatu kenyataan, terjadi atas desakan (fakir) dari dalam,
sehingga mencapai "kepastian melalui pembuktian". Cabang-cabang iman
bermacam-macam, jumlahnya banyak, lebih dari 72 cabang. Dalam hadits lain
disebutkan bahwa cabang-cabangnya lebih dari 70 buah. Cabanng iman menurut
Muslim dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu, Rasulullah Shalallaahu alaihi
wasalam bersabda:
"Iman itu tujuh puluh cabang lebih atau enam puluh
cabang lebih; yang paling utama adalah ucapan "La Ilaha illallahu"
dan yang paling rendah adalah menyingkirkan rintangan (kotoran) dari tengah
jalan, sedangkan rasa malu itu (juga) salah satu cabang dari iman." (HR. Muslim, I/63)
Pada buku M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an, Tafsir
Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat, hal. 27; Sayyidina Ali r.a. pernah
ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi'lib Al Yamani:
"Apakah Anda pernah melihat Tuhan?". Beliau
menjawab, "Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?".
"Bagaimana Anda melihant-Nya?", tanyanya kembali. Imam Ali menjawab,
"Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangannya yang kasat mata, tapi
bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan....."
QS. Yunus (10) : 57 :
"Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu
(dalam Al Qur-an) pelajaran dari Rabbmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit
(yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang
beriman". (QS. Yunus (10) : 57).
Bila masih ada keraguan, tidak
terlalu yakin atau takut dan was-was, berarti belum beriman tapi baru berislam,
belum menjadi orang Mukmin, tapi baru menjadi seorang Muslim. Iman, Membuka Ruang Hati Lebih luas Dunia –
Akhirat. Iman membuka wawasan dan kesadaran manusia bahwa dirinya
berasal dari Allah SWT dan akan kembali kepada-Nya. Ia menyadari bahwa dalam
kehidupannya di dunia terkandung maksud tertentu dan perilakunya terkait pada
konsekuensi di dunia-akhirat. Iman melapangkan kehidupan dan pikiran manusia
dari dunia hingga ke akhirat. Pertumbuannya bagai remaja yang berangkat matang
dan semakin bertanggung jawab membuka ruang hidupnya sampai ke masa tua. Ia
memiliki semangat kerja keras, mempersiapkan hari tuanya. Demikian pula
kesadaran seseorang akan ruang hidup akhirat, mendorong semangat ibadah dalam
rangka untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan akhirat.
Kehidupan manusia merupakan rangkaian panjang peristiwa dan
pengalaman. Semakin bertambah umur semakin banyak peristiwa dan pengalaman yang
dilaluinya. Manusia selalu merefleksikan peristiwa dan pengalaman hidupnya ke
masa depan, baik dalam kadar yang lemah maupun kuat. Jika ruang hidup manusia
hanya duniawi, maka refleksi atas peristiwa dan pengalaman hidupnya hanya
sebatas di dunia. Sebaliknya jika, manusia memiliki ruang hidup akhirat, ia
akan merefleksikan kehidupannya sampai ke akhirat. Iman akan menentukan
bangunan niat kita. Apakah bangunan rendah hanya setingkat dunia atau gedung
pencakar langit yang menembus akherat. Dalam dunia pendidikan niat itu
mendasari motivasi yang sangat menentukan perilaku. Tinggi rendahnya sukses
dalam belajar bergatung pada kuat lemahnya harapan yang tertanam sedari awal
memulai suatu proses.
Hubungan antara niat dan perilaku ini dijelaskan dalam
Hadits Rasulullah SAW, “Sesungguhnya
setiap amal itu bagaimana niatnya. Dan bahwasanya setiap orang itu bergantung
pada niatnya. Barang siapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya maka
hijrahnya itu akan sampai kepada Allah dan Rasul-nya. Barang siapa yang
berhijrah karena perniagaan yang diusahakannya atau wanita yang akan dinikahinya,
maka hijrahnya itu akan sampai kepada apa yang ia niatkan.”
Perkataan ‘Syahadat’ menunjukkan bahwa iman harus dengan
ucapan di lisan. Menyingkirkan duri dari jalan menunjukkan bahwa iman harus
dengan amalan anggota badan. Sedangkan sifat malu menunjukkan bahwa iman harus
dengan keyakinan dalam hati, karena sifat malu itu di hati. Inilah dalil yang
menunjukkan bahwa iman yang benar hanyalah jika terdapat tiga komponen di
dalamnya yaitu (1) keyakinan dalam hati, (2) ucapan di lisan, dan (3) amalan
dengan anggota badan. Maka tanpa adanya amalan, meskipun ada keyakinan dan
ucapan, tidaklah disebut beriman.
Dalam Jami’
al-Ushul fi al-Auliya’, hlm. 331 disebutkan bahwa iman memiliki karakter sesuai
dengan makhluk yang memilikinya. Ada iman yang tetap, ada pula yang terus
bertambah. Ada yang kadang berkurang, kadang juga bertambah. Ada pula yang
didiamkan, dan ada pula yang imannya ditolak.
1. Golongan yang imannya
bersifat tetap, tidak bertambah dan tidak berkurang adalah karakter iman para
malaikat.
2. Golongan yang imannya terus
bertambah adalah iman orang-orang yang dijaga dari kesalahan (ma’shum), yaitu
para nabi dan rasul.
3. Golongan yang memiliki
karakter iman yang dapat berkurang karena maksiat, dan dapat bertambah karena
taat. Golongan ini adalah orang-orang mukmin.
4. Golongan yang imannya
didiamkan dalam artian iman mereka tidak akan benar selama kemunafikan masih
ada dalam hati mereka. Golongan ini adalah orang-orang munafik.
5. Golongan yang imannya
ditolak, mereka adalah golongan orang-orang kafir.
Orang-orang mukmin yang
manta iman nya hanyalah mereka yang membuktikan pengakuan iman mereka denga
perkataan dan perbuatan. Iman yang kamil terhujam mantap dalam hati. Iman yang
ada dalam hati dapat berubah-ubah atau berkurang tergantung dalam amal perbuatannya.
Agar iman dalam hati sempurna perlu didukung oelh ilmu yang benar agar
perbuatan tidak menyimpang dari aturan system Allah yang menjadi sentral
keimanan seseorang.
Ciri-ciri mukmin sejati
yang iman nya sempurna yaitu mereasa gemetar hatinya ketika mengingat
Allah,bertambah iman nya ketika dibacakan ayat-ayat Allah,dan bertawakal kepada
Allah. Hati gemetar,karena dampak iman yang menimbulkan rasa takut ketika ingat
perintah dan larangan Allah, karena sadar akan kekuasaanNya.[8] Sifat
orang mukmin itu takut kepada Allah lalu mendirikan sholat dan menafkankan
rezekinya dijalan Allah. Demikian pula jika dibacakan kepada mereka ayat – ayat
Allah maka bertambah iman mereka. Keimanan seseorang bertambah ketika merasa
dekat dengan Allah.[9]
Tahap
pertama, dari proses masuknya iman yaitu adanya gejolak
hati. Terjadi karena takut akibat
membayangkan siksa allah atau karena mengingat rahmat kasih sayang Allah.
Tahap
kedua, yaitu berzikir dzikir pada mulanya berarti
mengucapkan dengan lidah kemudian berkembang menjadi mengingat.karena ketika
mengingat sesuatu sering kali mengantar lidah untuk menyebutnya, yaitu menyebut
nama allah. Maka teringatlah sifat – sifat yang berkaitan dengan –Nya.
Tahap
ketiga, terjadi kemantapan iman dalam diri seseorang.
Dalam banyak hal seseorang telah percaya tetapi merasa kurang mantap karena
belum mengetahuinya. Oleh karena itu orang mukmin yang gemetar hatinya lalu
bertambah imannya ketika mendengar atau membaca ayat – ayat alquran, jika
mereka memahami isi dari yang dibacanya. Keimanan yang bertambah atau berkurang
itu dapat dibuktikan oleh amal perbuatan seseorang dalam surat Al-Imron:173.
Iman orang mukmin itu bertambah dan berkurang walaupun dilihat dan dialaminya
berupa ujian seperti yang terkandung dalam surat Al-Ahzab : 22. Keimanan yang
benar menimbulkan ketenangan hati orang – orang mukmin. Keimanan terus
bertambah disamping keimanan yang telah ada. Bagi orang beriman cobaan –
cobaanpun dapat menambah keimanan sehingga tidak ada lagi keraguan, seperti
yang terkandung dalam surat Al-Muddatsir:31.[10]
B. Kandungan Surat
Al-Baqoroh Ayat 156 Mengenai Iman
Q.S.
Al-Baqoroh Ayat 156
الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا
إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (١٥٦(
Artinya : “(Yaitu)
orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Innā
lillāhi wa innā ilayɦi rāji’ŭn” (sesungguhnya kita semua milik Allah dan
sesungguhnya kepada-Nya-lah kita semua akan kembali.”[11]
Pada ayat diatas menjelaskan bahwa kalimat “Innā lillāhi
wa innā ilayɦi rāji’ŭn” bukan hanya
diucapkan ketika mendengar kabar orang meninggal saja seperti kebanyakan orang
saaat ini yang memahami bahwa kalimat tersebut hanya diucapkan ketika ada orang
yang meninggal dunia, namun pada ayat diatas menerangkan bahwa pengucapan
kalimat “Innā lillāhi
wa innā ilayɦi rāji’ŭn” diucapkan
apabila ditimpa musibah.
Dalam ayat diatas menyebutkan bahwa setiap orang yang beriman pasti
akan selalu mengucapkan lafadz “Innā lillāhi wa innā ilayɦi rāji’ŭn”, dimana kalimat ini dinamakan
kalimat tarji’ atau istirja’ (pernyataan kembali kepada Allah). Umat
Islam mempercayai bahwa Allah adalah Esa yang memberikan dan Dia jugalah yang
mengambil, Dia menguji umat manusia. Oleh karenanya, umat Islam menyerahkan
diri kepada Tuhan dan bersyukur kepada Tuhan atas segala yang mereka terima.
Pada masa yang sama, mereka bersabar dan menyebut ungkapan ini saat menerima
cobaan atau musibah.
Penjabaran mengenai surat Al-Baqoroh
ayat 156 sebagai berikut :
1. Penggunaan kata الَّذ ينَ (orang-orang yang) di awal ayat
ini menunjukkan bahwa kandungan ayat ini merupakan jabaran dari kata الصَّابِرِينَ ( orang-orang yang sabar) yang menutup ayat
sebelumnya (155). Yakni bahwa ciri utama orang sabar itu ialah apabila suatu
musibah menimpanya maka dia kembali kepada prinsip ma’rifah
(pengenalan batin) dan syuhudi (penyaksian batin)-nya kepada seluruh
realitas; bahwa semua yang ada ini (yang terinderai ataupun yang tidak)
merupakan jelmaan dari Diri Allah SWT. Itu sebabnya, bagi الصَّابِرِينَ
(ash-shābirĭn, orang-orang yang sabar), semua kejadian, semua
musibah, selalu mencerminkan keberadaan-Nya. Sehingga tidak ada musibah—seberat
apapun menurut ukuran manusia biasa—yang membuatnya menyerah.
2. Dalam pengertiannya yang paling dasar, kata مُّصِيبَةٌ (mushĭbah)
berarti “sesuatu yang menimpa”. Berasal dari akar kata ) صابshāba) yang berarti “poured”
(tertuang, tercurah) atau “teeming” (padat, sesak), atau صوب )sha-wa-ba)
yang berarti sight (terlihat, pemandangan), shoot (memanah,
menembak), range (jangkauan, cakupan, kisaran), dan shine
(menembakkan, menyorotkan)—kedua pengertian ini diambil dari LingvoSoft Online
Dictionaries (www.lingvozone.com).
Dari sini nanti muncul kata الصيب (ash-shayyib, hujan lebat) seperti dalam ayat أَوْ كَصَيِّبٍ مِّنَ السَّمَاءِ [aw kshayyibin minas-samāi, atau seperti
(orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari
langit. (2:19)], dan kata صوابا (shawāba, perkataan
yang benar) seperti dalam ayat وَقَالَ صَوَاباً [wa qāla shawāba,dan
dia mengucapkan perkataan yang benar (78:38)].
Dari akar kata ini pula lahir bentuk kata selanjutnya: اصاب (a-shā-ba)
yang—menurut Kamus al-Munawwir—diantara artinya ialah “tepat, benar,
memperoleh, menimpa, mendapatkan”; seperti dalam ayat مَّا
أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن
نَّفْسِكَ [mā ishābaka
min hasanatin faminallaāɦi wa ma ishābaka min sayyiatin famin nafsika,
kebaikan apa saja yang menimpamu maka itu dari Allah, dan keburukan apa saja
yang menimpamu maka itu dari (kesalahan) dirimu sendiri (4:79)]. Jikalau
kita rangkai semuanya, maka kata مُّصِيبَةٌ (mushĭbah) bisa berarti “sesuatu
yang datang tercurah bagai hujan lebat atau bagai tembakan dengan presisi yang
benar, menimpa orang yang tepat dalam kisaran peristiwa yang padat, sehingga
kejadiannya menjadi pemandangan yang menimbulkan rasa takut dan dampak negatif
lainnya seperti kelaparan, kekurangan harta, kematian, dan kehabisan bahan
pangan”. Dalam Bahasa Inggeris مُّصِيبَةٌ (mushĭbah) itu disebut: “misfortune
(kemalangan), disaster (bencana), calamity (malapetaka),
adversity (kesulitan), scourge (penderitaan), affliction (kesengsaraan),
catastrophe (kehancuran, kekacauan), tribulation (kesusahan),
trial (ujian, cobaan), ordeal (siksaan), woe (duka,
nestapa), distress (kesulitan), blow (pukulan berat)”. Itu
sebabnya al-Mu’jam al-Wasĭth mendefenisikan kata مُّصِيبَةٌ (mushĭbah) ini dengan: كل مكروه يحل بالانسان (kullu makrŭɦin yahullu bil-insān, setiap kesulitan
yang mendera manusia). “Tiada suatu musibah yang menimpa di bumi dan
(tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh
Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah
mudah bagi Allah.” (57:22).
3. Seberat apapun musibah itu, bagi orang sabar, itu adalah
momentum yang tepat untuk melisankan kandungan hatinya, simpul perjalanan
ruhaninya: إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّـا إِلَيْهِ رَاجِعونَ (innā lillāɦi wa innā ilayɦi
rāji’ŭn, sesungguhnya kita semua milik Allah dan sesungguhnya
kepada-Nya (jua)-lah kita semua akan kembali). Secara ortografi (cara
penulisan), kata لِلّهِ (lillāɦi, milik Allah) berasal dari kata اللّه (Allāɦ)
juga yang dihilangkan huruf ا (alif)-nya sehingga walaupun sesungguhnya ada
sesuatu yang “masuk” di sana—yaitu huruf لِ (li, milik)—tetapi
tulisannya justru menjadi utuh dan kompak. Menurut ilmu isyarat, ini
menunjukkan bahwa Allah dan apa-apa yang dimiliki-Nya tidak pernah berpisah.
Keduanya (Allah dan milik-Nya) utuh dan kompak, sinkron dan integral. Dan,
memang, keadaan inilah yang bisa diterima oleh akal (rasio) dan hati (rasa).
Kalau kita mengandaikan Allah itu “berpisah” dengan makhluk-Nya, berarti kita
juga mengandaikan bahwa Allah itu berada di suatu posisi ruang-waktu tertentu
sebagaimana makhluk-Nya berada di suatu posisi ruang-waktu tertentu yang lain,
kemudian di antara keduanya pasti ada “jarak” ruang-waktu tertentu lagi.
Sehingga, dengan begitu, di sana kita menyadari adanya tiga macam entitas:
Allah, makhluk, dan jarak (antara keduanya).
4. Itu ketika al-Qur’an bicara soal Allah. Tetapi ketika bicara
soal manusia, al-Qur’an menggunakan kata إِلَيْهِ (ilayɦi, kepada-Nya).
Dalam tulisan ini ada dua komponen yang jelas terlihat: kata depan إِلَي (ilā,
ke atau kepada) dan kata ganti هِ (ɦi, Nya, Dia). Kata إِلَي (ilā,
ke atau kepada) menunjukkan adanya ghāyah (tujuan) yang
hendak dicapai, dan ghāyah (tujuan) itu sendiri ialah Allah yang
diganti dengan dlamĭr (kata ganti) هِ (ɦi, Nya, Dia) tadi.
Secara awam, manakala ada ghāyah (tujuan) berarti ada dua hal yang
terpisah: sesuatu yang bergerak menuju ke tujuan, dan tujuan
itu sendiri. Dalam konteks ayat 156 ini, sesuatu itu ialah kita
manusia, dan tujuan itu ialah Allah. Sehingga, dengan begitu,
dari sisi kita manusia—beda dengan dari sisi Allah seperti telah diterangkan di
poin sebelumnya—seakan-akan ada ‘jarak’ dengan Allah. ‘Jarak’ itu adalah jarak
kesadaran, karena pada hakikatnya secara eksistensial “jarak” itu sesungguhnya
tidak ada. ‘Jarak’ ini berbeda bagi setiap orang. Jauh dekatnya tergantung pada
jenjang perjalanan ruhani kita masing-masing dalam hal ma’rifah dan syuhidi.
Dengan pengertian ini, maka bagi orang sabar, setiap ada مُّصِيبَةٌ (mushĭbah)
selalu menjadi kesempatan berharga baginya untuk memperpendek ‘jarak’
perjalanan tersebut; dan artinya semakin mendekatkan dirinya kepada Dzat Yang
Mahasempurna. Perjalanan itulah yang disebut رَاجِعونَ (rāji’ŭn, kembali).
Disebut demikian karena perjalanan ruhani adalah perjalanan kembali ke
Asal. Dan karenanya ucapan إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّـا
إِلَيْهِ رَاجِعونَ (innā
lillāɦi wa innā ilayɦi rāji’ŭn) disebut istirja’.
5. Di dalam Tafsir Jalalain dikutipkan sebuah hadits bahwa, “Barang
siapa yang istirja’ (mengucapkan innā
lillāɦi wa innā ilayɦi rāji’ŭn) ketika mendapat musibah, maka ia diberi
pahala oleh Allah dan diiringi-Nya dengan kebaikan.” Juga diberitakan
bahwa pada suatu ketika lampu Nabi saw padam, maka beliau pun mengucapkan istirja’,
lalu kata Aisyah, “Bukankah ini hanya sebuah lampu!” Beliau menjawab:
“Setiap yang mengecewakan (hati) orang mukmin itu berarti musibah.”
Diriwayatkan oleh Abu Daud dalam kumpulan hadis-hadis mursalnya.[12]
Adapun penjelasan singkat
mengenai surat Al-Baqoroh ayat 156 :
1. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah. Musibah adalah
semua yang membuat hati, badan atau kedua-duanya terasa sakit atau pedih.
2. mereka berkata : "Inna lillaahi wa innaa ilaihi
raaji'uun" Sesungguhnya Kami adalah milik Allah, Maksudnya: kita milik
Allah, di bawah pengaturan dan tindakan-Nya, Dia berbuat kepada milik-Nya apa
yang Dia kehendaki, kita tidak memiliki apa-apa terhadap jiwa dan harta sedikit
pun. Oleh karena itu, jika Dia menimpakan ujian kepada kita, maka sesungguhnya
itu merupakan tindakan dari Yang Maha Penyayang kepada milik-Nya, maka tidak
boleh diprotes. Bahkan termasuk sempurnanya pengabdian seorang hamba adalah dia
merasakan bahwa musibah yang menimpanya berasal dari Pemilik dirinya, Tuhan
yang Maha Bijaksana yang lebih sayang kepada dirinya daripada sayangnya seorang
hamba kepada dirinya sendiri. Oleh karena itu, sikap yang harus dilakukan
adalah ridha, bersyukur karena diatur oleh-Nya kepada hal yang lebih baik bagi
dirinya meskipun ia tidak menyadari.
3. Dan kepada-Nya-lah Kami kembali, Di samping kita sebagai
milik-Nya, kita juga akan kembali kepada-Nya pada hari kiamat, lalu
masing-masing akan diberi balasan sesuai amalnya. Jika kita bersabar dan
mengharap pahala dari Allah Subhaanahu wa Ta'aala, maka kita akan mendapatkan
pahala secara penuh di sisi-Nya, sedangkan jika kita berkeluh kesah, maka tidak
ada yang kita peroleh selain keluh kesah, musibah dan hilangnya pahala.
Memahaminya seorang hamba bahwa dirinya adalah milik Allah dan akan kembali
kepada-Nya merupakan sebab terkuat untuk memperoleh kesabaran.[13]
Dari
penjelasan diatas dapat dipahami bahwa kandungan surat Al-Baqoroh ayat 156
mengenai iman yaitu keyakinan bahwa segala sesuatu itu berasal dari Allah dan
pasti akan kembali kepada Allah, karena Allah yang telah memberikan segala
sesuatu itu kepada kita sebagai hamba-Nya. Sehingga keyakinan tersebut akan
menumbuhkan sikap tawakal dan menjadikan diri kita sebagai peribadi yang selalu
sabar dalam menghadapi segala bentuk cobaaan atau musibah.
Dengan
demikian, seseorang yang selalu sabar, ikhlas dan tawakal kepada Allah pasti
memiliki keimanan yang semakin kuat, karena keyakinannya terhadap segala
sesuatu itu selalu dipahami sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah SWT.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Iman bearti percaya,
yaitu mengucapkan dengan lisan, membenarkan dengan hati dan disertai amal
perbuatan, iman merupakan pondasi utama bagi seorang muslim karena dengan
adanya iman yang kuat maka seorang muslim akan selalu berada dijalan yang Allah
ridhoi. Dan pokok iman ialah mengimani rukun iman yang enam, yaitu iman kepada
Allah, iman kepada malaikat Allah, iman kepada kitab-kitab Allah, iman kepada
Rasul Allah, iman kepada hari akhir dan iman kepada qada dan qodar.
Kandungan
surat Al-Baqoroh ayat 156 mengenai iman yaitu meyakini bahwa segala sesuatu itu
datang dari Allah dan akan kembali kepada-Nya, dan selalu mengucapkan kalimat
istirja’ ketika mendapatkan suatu musibah dari Allah bukan hanya diucapkan
ketika ada orang yang meninggal. Dengan mengucapkan dan memahami kalimat
istirja’ maka seorang mukmin akan selalu bersabar dalam menerima segala macam
bentuk musibah, dengan kata lain keimanan yang terkandung dalam surat diatas
melahirkan kesabaran.
B. SARAN
Kami sebagai
penyusun makalah ini sangat menyadari
bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, baik dalam segi penulisan, bahasa
dan sebagainya. Maka dari itu kami mengharapkan saran yang membangun dari Bapak
Supriyatmoko selaku dosen dan para pembaca, supaya kedepannya kami bisa lebih
baik lagi dalam penyusunan makalah.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Ali, Kitab
Tauhid li Shaff Ats Tsaani Al ‘Aali,
Yogyakarta : Bumi Aksara, 1995.
Fazlur Rahman, Tema Pokok AL-QUR’AN,
Bandung:pustaka,1996.
Deden Makbuloh, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2011.
Departemen Agama
RI, Al-Qur’an dan Terjemah : Al-‘Aliyy,
Bandung : Diponegoro, 2006.
Ibnu Hajar
Asqalani, Fathul Baari Syarhu Shahih
Al-Bukhari, Semarang : Ar-Ridho, 1999.
M. Fu’ad Abdul Baqi, Al-Lu’lu’ Wal Marjan, Semarang :
Al-Rido,1993.
Muhammad Rasyid
Ridho, Tafsir Al-Manar, Jilid 7,
Beirud:Dar Al-Fikr,t.t.
Sayyid
Quthb, Fi Dzilal Al-Qur’an, Juz 25,
Al-Arabiy Dar Al-Ihya Al-Kitab, t.t.
Tafsir
Al-Qur’an, (On-Line), dikutip dari http://www.tafsir-albarru.com/tafsir-alquran/tafsir-al-baqarah/al-baqarah-ayat-156/,
2016.
[2]M. Fu’ad Abdul Baqi, Al-Lu’lu’ Wal Marjan, (Semarang :
Al-Rido,1993), h.10.
[3]
Ibnu Hajar Asqalani, Fathul Baari Syarhu Shahih Al-Bukhari,
(Semarang : Ar-Ridho, 1999), h. 60.
[4]
Deden Makbuloh, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2011), h. 89.
[5]
Sayyid Quthb, Fi Dzilal Al-Qur’an, Juz 25, (Al-Arabiy
Dar Al-Ihya Al-Kitab, t.t), h. 124.
[6]
Fazlur Rahman,Tema Pokok AL-QUR’AN,(Bandung:Pustaka,1996),
h.98
[7] Deden
Makbuloh,Op. Cit., h.111
[8] Muhammad Rasyid Ridho, Tafsir Al-Manar, Jilid 7, (Beirud:Dar
Al-Fikr,t.t.), h. 589.
[9] Deden Makbuloh, Op. Cit., h. 96.
[10] Ibid, h. 100.
[11]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah : Al-‘Aliyy,
(Bandung : Diponegoro, 2006), h. 18.
[12]“Tafsir
Al-Qur’an” (On-Line), dikutip dari http://www.tafsir-albarru.com/tafsir-alquran/tafsir-al-baqarah/al-baqarah-ayat-156/, 2016.
[13]“Tafsir
Al-Qur’an”, (On-Line), dikutip dari http://www.tafsir.web.id/2013/01/tafsir-al-baqarah/,
2016.
Baccarat | The #1 Sportsbook for Beginners | The Borgata
BalasHapusThe Borgata choegocasino Poker Room features regular table games 바카라 such as American Roulette, Three Card Poker, Baccarat, Poker, and deccasino a live table poker game.