Sabtu, 19 November 2016

Makalah Qur'an Hadist (Iman)



IMAN DALAM AL-QUR’AN SURAT AL-BAQOROH AYAT 156
Makalah ini Disusun Guna Memenui Tugas Mata Kuliah Qur’an Hadits
Dosen Pengampu : Supriyatmoko, M.Si
 

Disusun Oleh Kelompok 7 :  
Anita Anggraini       1611050220 
Dhurotun Nasihah  1611050356 
M. Sukma Wijaya   1611050294


PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS TARBIAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
1438 H/2016 M









KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya kami dapat mennyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “IMAN DALAM AL-QUR’AN : Surat Al-Baqarah Ayat 156” dengan tepat waktu dan lancar tanpa suatu halangan apapun. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Qur’an dan Hadits.
Terima kasih kami ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Terima kasih juga kami ucapakan kepada bapak Supriyatmoko, M.Si. selaku dosen pengampu yang telah memberikan arahan dalam penyusunan makalah ini.
Makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Karena masih banyak terdapat kekurangannya. Atas segala kekurangannya kami mohon maaf dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua yang membacanya dan khususnya bagi kami yang menyusunnya.





                                                                        Bandar Lampung, Oktober 2016
                                                                                               
           
                                                                        Penyusun
DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR............................................................................................. i
DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
             A.    Latar Belakang.............................................................................................1
             B.     Rumusan Masalah........................................................................................1
             C.     Tujuan.........................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
             A.    Pengertian Iman.......................................................................................... 2
             B.     Kandungan Surat Al-Baqoroh ayat 156.................................................... 19
BAB III PENUTUP
             A.    Kesimpulan............................................................................................... 25
             B.     Saran.........................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA








BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Qur’an Hadis dengan dosen pengampu Bapak Supriyatmoko, M.Si, dalam makalah membahas mengenai iman dalam Al-Qur’an surat Al-Baqoroh ayat 156. Iman yaitu percaya atau meyakini. Salah satu hal yang membedakan antara derajat manusia yang satu dengan lainnya ialah imannya yang mendalam kepada Allah dan keyakinannya bahwa apapun peristiwa yang terjadi di alam ini dan apa pun yang terjadi pada diri manusia adalah ketentuan Allah, dimana iman merupakan anugerah yang terbesar dari Allah SWT.
Karena iman sebagian manusia mau menerima ajaran agama islam sebagai ajaran yang haq, karena iman pula manusia melakukan berbagai amal kebaikan, dengan kata lain jika kita memiliki iman yang kuat maka akan semakin mendekatkan diri kita kepada Allah SWT. Dan sebagai kunci utama kita harus mengimani rukun iman yang enam, yaitu iman kepada Allah, iman kepada malaikat Allah, iman kepada kitab-kitab Allah, iman kepada Rasul Allah, iman kepada hari akhir, dan iman kepada qada dan qadar.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian iman?
2.      Apa kandungan surat Al-Baqoroh ayat 156 mengenai iman?

C.    Tujuan
1.      Mengetahui dan memahami pengertian iman.
2.      Memahami isi kandungan surat Al-Baqoroh ayat 156 mengenai iman.



BAB II
PEMBAHASAN
            A.    Pengertian Iman
Kata iman berasal dari bahasa Arab الإيمان  yang artinya percaya. Sedangkan menurut istilah, pengertian iman adalah membenarkan dengan hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan tindakan (perbuatan). Iman secara bahasa berarti tashdiq (membenarkan). Sedangkan secara istilah syar’i, iman adalah "Keyakinan dalam hati, Perkataan di lisan, amalan dengan anggota badan, bertambah dengan melakukan ketaatan dan berkurang dengan maksiat". Para ulama salaf menjadikan amal termasuk unsur keimanan. Oleh sebab itu iman bisa bertambah dan berkurang, sebagaimana amal juga bertambah dan berkurang".[1]  Pengertian iman dalam sebuah hadist yang di riwayatkan oleh Hadist Abu Hurairah ra.dimana ia berkata: “pada suatu hari annati nabi berada ditengah-tengah para sahabat,lalu ada seseorang datang kepada beliau lantas bertanya:”apakah iman itu?” lalu beliau menjawab:iman adalah kamu percaya kepada Allah dan malaikat-Nya,rasul-rasul-Nya,dan percaya adanya hari kebangkitan(setelah mati).[2] Dengan demikian, pengertian iman kepada Allah adalah membenarkan dengan hati bahwa Allah itu benar-benar ada dengan segala sifat keagungan dan kesempurnaan-Nya, kemudian pengakuan itu diikrarkan dengan lisan, serta dibuktikan dengan amal perbuatan secara nyata.
Jadi, seseorang dapat dikatakan sebagai mukmin (orang yang beriman) sempurna apabila memenuhi ketiga unsur keimanan di atas. Apabila seseorang mengakui dalam hatinya tentang keberadaan Allah, tetapi tidak diikrarkan dengan lisan dan dibuktikan dengan amal

perbuatan, maka orang tersebut tidak dapat dikatakan sebagai mukmin yang sempurna. Sebab, ketiga unsur keimanan tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan.
Iman menurut istilah tauhid adalah membenarkan dalam hati, mengikrarkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan perbuatan. Dalam pemahaman lain dapat diartikan bahwa iman adalah menetapkan keyakinan akan sebuah kebenaran dalam hati, kemudian keyakinan itu diikrarkan dengan lisan, dan diwujudkan dalam perbuatan nyata.
Dalam Jami’ al-Ushul fi al-Auliya’, hlm. 331 disebutkan bahwa iman memiliki karakter sesuai dengan makhluk yang memilikinya. Ada iman yang tetap, ada pula yang terus bertambah. Ada yang kadang berkurang, kadang juga bertambah. Ada pula yang didiamkan, dan ada pula yang imannya ditolak.
Dengan demikian definisi iman memiliki 5 karakter: keyakinan hati, perkataan lisan, dan amal perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang.
Imam Syafi’i berkata, “Iman itu meliputi perkataan dan perbuatan. Dia bisa bertambah dan bisa berkurang. Bertambah dengan sebab ketaatan dan berkurang dengan sebab kemaksiatan.” Imam Ahmad berkata, “Iman bisa bertambah dan bisa berkurang. Ia bertambah dengan melakukan amal, dan ia berkurang dengan sebab meninggalkan amal. Imam Bukhari mengatakan, “Aku telah bertemu dengan lebih dari seribu orang ulama dari berbagai penjuru negeri, aku tidak pernah melihat mereka berselisih bahwasanya iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan berkurang.”[3]

Unsur-unsur yang membentuk keimanan seseorang itu ada 3, yaitu :

1. Pengetahuan Hati (مَعْرِفَةٌ بِاْلقَلْبِ ) Berbicara tentang iman, tentu berbicara tentang keyakinan. Maka secara mutlak orientasi pembahasan di titik beratkan pada jiwa seseorang atau lazimnya di sebut “qalbu”. Hati merupakan pusat dari satu keyakinan, kita semua sepakat bahwa dalam diri manusia terdapat dua unsur pokok kejadian, terbentuknya jazad dan rohani, apabila keduanya pincang atau salah satu di antaranya kurang, maka secara mutlak tidak mungkin terbentuk makhluk yang bernama manusia. Orang yang beriman hatinya harus ma’rifat kepada Allah, mengetahui siapakah Allah itu, karena tanpa mengenal Allah mustahil seseorang akan beriman kepada Allah.
2. Pengucapan Lisan (قَوْلٌ بِالِّلسَانِ) Setelah mengenal Allah dan meyakini dengan sepenuh hati, seorang mukmin diwajibkan mengakui dan mengikrarkan dengan lisan, yakni dengan mengucapkan dua kalimat syahadah .
3. Pengamalan dengan anggota badan (وَعَمَلٌ بِاْلأَرْكَانِ). Amal merupakan unsur dari iman.
Identitas seorang mukmin terletak pada sifat dan sikapnya. Dalam hadits-hadits Nabi, sangat banyak disebutkan tentang masalah keimanan. Tetapi sebagian besar kaum muslim tidak memahami bahkan salah memahami bagaimana keimanan itu. Sehingga banyak kaum muslim yang mengaku beriman tetapi mereka tidak sama sekali mengaplikasikan substansi keimanan tersebut. Ada orang yang rajin shalat, tetapi korupsinya juga rajin. Ada yang giat bersedekah, tetapi masih suka mengambil uang negara. Hal ini mengindikasikan bahwa ada yang salah dalam pengamalan ajaran-ajaran Islam. Ciri-ciri (Identitas) seorang Mukmin dapat terlihat dari sifat dan sikapnya.
1.      Orang mukmin akan mencintai Allah dan Rosul-Nya melebihi cinta kepada makhluk-Nya. Sabda Rasulullah : ”Telah menceritakan kepada kami Ishaq ibn Ibrahim dan Muhammad ibn Yahya ibn Abi ‘Umar serta Muh}ammad ibn Basysyar semuanya dari al-Saqafi berkata Ibnu Abi ‘Umar telah menceritakan kepada kami ‘Abd al-Wahhab dari Ayyub dari Abu Qilabah dari Anas dari Nabi saw., dia berkata, "Tiga perkara jika itu ada pada seseorang maka ia akan merasakan manisnya iman; orang yang mana Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya, mencintai seseorang yang ia tidak mencintainya kecuali karena Allah, dan benci untuk kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya dari kekafiran tersebut sebagaimana ia benci untuk masuk neraka”.(H.R. Bukhari dan Muslim)

2.      Orang mukmin akan menghormati tamunya.

3.      Orang yang beriman tidak akan menyakiti tetangganya.

4.      Orang yang beriman tidak akan berkata kotor. Sabda Rasulullah SAW : “Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu: Sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda: barang siapa yang beriman kepada Allah hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam, barang siapa yang beriman kepada Allah hari akhir maka hendaknya dia mengormati tetangganya dan barang siapa yang beriman kepada Allah hari akhir maka hendaknya dia menghormat tamunya.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

5.      Orang yang beriman akan selalu mencegah kemunkaran. Sabda Rasulullah SAW : “Dari Abu Sa’d Al-Khudriy Radhiyallahu ‘Anhu, beliau berkata : Saya pernah mendengar Rasulallah SAW berkata: barang siapa diantara kalian melihat suatu kemunkaran maka hendaknya dia merubah dengan kekuasannya, apabila dia merasa tidak mampu maka dengan lisannya, maka apabila dia tidak mampu hendaknya dia membenci kemunkaran tersebut dengan hatinya, yang demikian itu adalah tingkatan iman yang paling lemah .” (H.R. Muslim).

Kualitas keislaman manusia terletak sejauh mana memperlakukan muslimin yang lain. Iman bagi orang muslim merupakan pondasi utama dari kesadaran keagamaannya yang dalam berbagai wacana keagamaan senantiasa diperingatkan agar dijaga dan diperkuat serta penuh makna dan tafsiran. Peringatan tentang iman itu dari sumber aslinya (Al-Qur’an) berkait erat dengan amal perbuatan yang merupakan tuntutan langsung dari iman spiritual itu, sehingga tidak ada iman tanpa amal. Ekspresi iman orang mukmin adalah melaksanakan perintah Tuhan, baik berkaitan langsung dengan Tuhan maupun dengan manusia (habuml min Allah dan habum min al-nas). Kualitas (baik buruknya) keislaman manusia terletak sejauh mana seorang muslim memperlakukan muslimin yang lain.
Dari Umar Radhiyallahu ‘Anhu, sesungguhnya Beliau telah berkata : “Nabi SAW pernah ditanya tentang beberapa hamba Allah yang lebih dicintai oleh Allah, maka beliau menjawab: “Dia adalah yang berpaling bermanfaat bagi manusia lain”. kemudian ditanya tentang tentang beberapa amal yang paling dicintai Allah, maka beliau menjawab:”membahagiakan orang mukmin, menghilangkan kelaparan atau kesedihannya atau membayarkan hutangnya, ...” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Hadits di atas memberikan penjelasan bahwa seorang muslim yang paling dicintai oleh Allah adalah seorang muslim yang memperlakukan muslim lainnya dengan cara yang baik. Karena sebenarnya inti dari ajaran agama islam hanya ada dua, yaitu: beramal sholih karena Allah dan berakhlak baik kepada manusia (hablum min Allah dan hablum min al-nas). Kaitannya dalam memperlakukan muslimin yang lain kualitas keislaman seseorang dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:
1. Tingkatan yang terendah Seorang muslim yang baik, dia tidak akan membuat orang lain sakit hati, seperti contoh: tidak online facebook atau memutar musik ketika sedang ada presentasi atau ketika dosen sedang menerangkan materi kuliah. Karena yang demikian dapat membuat membuat dosen sakit hati. “Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu: Sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda: barang siapa yang beriman kepada Allah hari akhir maka hendaknya dia mengormati (tidak menyakiti) tetangganya (orang yang berada di sekelilingnya” . (H.R. Bukhari dan Muslim). 

2. Tingkatan yang sedang Seorang muslim yang baik, selain dia tidak menyakiti orang lain dia juga berbuat sesuatu yang membawa kemanfaatan bagi orang lain, seperti contoh: memberi makan tetangga ketika sedang kelebihan makanan, sebagaimana sabda Rasulullah yang artinya: “tidak dinamakan orang iman, orang yang kenyang sedang tetangganya sedang kelaparan”.
 
3. Tingkatan yang tertinggi Seorang muslim yang baik selain mengamalkan tingkatan yang pertama dan kedua, dia juga memiliki sifat sabar, tidak membalas dengan kejahatan ketika sedang dijahati orang lain, akan tetapi dia malah membalasnya dengan suatu kebaikan. “jika kamu ingin melebihi derajat golongan shiddiqiin, maka sambunglah kembali orang yang yang telah memutus tali persaudraan denganmu, dan berilah orang yang tidak pernah memberimu dan maafkanlah orang yang telah menyakitimu”.
 Jika ketiga tingkatan ini diamalkan oleh seluruh penganut agama islam di penjuru dunia, maka kita tidak akan pernah mendengar adanya peperangan, pembubuhan, pencurian dan segala macam kejahatan yang telah ada. Dan inilah sebenarnya misi yang terkandung dalam ajaran islam, yakni sebagai Rahmatan lil ‘alamiin. Ada dua perbedaan yang mendasar mengenai iman, yaitu iman kamil dan iman naqis.[4] Dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 14 dijelaskan hakikat iman dan siapa sebenarnya yang dinilai oleh Allah sebagai orang mukmin. Menurut sayyid Quthb, ayat ini menjelaskan hakikat yang merupakan hakikat akidah, syariah dan eksistensi kemanusiaan.[5]
Rukun iman, (bahasa Arab: أركان الإيمان) yaitu pilar-pilar keimanan dalam Islam yang harus dimiliki seorang muslim. Jumlahnya ada enam. Enam rukun iman ini didasarkan dari ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadis.
1. Iman kepada Allah SWT
Kita mengimani Rububiyah Allah SWT, artinya bahwa Allah adalah Rabb: Pencipta, Penguasa dan Pengatur segala yang ada di alam semesta ini. Kita juga harus mengimani uluhiyah Allah SWT artinya Allah adalah Ilaah (sembahan) yang hak, sedang segala sembahan selain-Nya adalah batil. Keimanan kita kepada Allah belumlah lengkap kalau tidak mengimani Asma’ dan Sifat-Nya artinya bahwa Allah memiliki nama-nama yang maha indah serta sifat-sifat yang maha sempurna dan maha luhur. Dan kita mengimani keesaan Allah SWT dalam hal itu semua, artinya bahwa Allah SWTtiada sesuatupun yang menjadi sekutu bagi-Nya dalam rububiyah, uluhiyah, maupun dalam Asma’ dan sifat-Nya. Firman Allah SWT yang artinya:
“(Dia adalah) Tuhan seluruh langit dan bumi serta semua yang ada di antara keduanya. Maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Adakah kamu mengetahui ada sesuatu yang sama dengan-Nya (yang patut disembah)?”. (QS. Maryam: 65)
 “Tiada sesuatupun yang serupa dengan-Nya. Dan Dia-lah yang maha mendengar lagi Maha melihat”. (QS. Asy-Syura:11)
2. Iman Kepada Malaikat Allah
Mengimani para malaikat Allah yakni dengan meyakini kebenaran adanya para malaikat Allah SWT. Dan para malaikat itu, merupakan hamba Allah, sebagaimana firman-Nya, yang artinya:
”Sebenarnya (malaikat-malaikat itu) adalah hamba-hamba yang dimuliakan, tidak pernah mereka itu mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya.” (QS. Al-anbiya: 26-27)

Mereka diciptakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka mereka beribadah kepada-Nya dan mematuhi segala perintah-Nya. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’, yang artinya:
” …Dan malaikat-malaikat yang disisi-Nya mereka tidak bersikap angkuh untuk beribadah kepada-Nyadan tiada (pula) merasa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.” (QS. Al-Anbiya: 19-20).

3. Iman Kepada Kitab Allah
Kita mengimani bahwa Allah SWT telah menurunkan kepada rasul-rasul-Nya kitab-kitab sebagai hujjah buat umat manusia dan sebagai pedoman hidup bagi orang-orang yang mengamalkannya, dengan kitab-kitab itulah para rasul mengajarkan kepada umatnya kebenaran dan kebersihan jiwa mereka dari kemuysrikan. Firman Allah SWT, yang artinya:
”Sungguh, kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka Al-kitab dan neraca (keadilan) agar manusia melaksanakan keadilan…”. (QS. Al-Hadid: 25)
Dari kitab-kitab itu ialah :
a.       Taurat, yang Allah turunkan kepada nabi Musa alaihi sallam, sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Maidah: 44. 
b.      Zabur, ialah kitab yang diberikan Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada Daud alaihi sallam. 
c.       Injil, diturunkan Allah kepada nabi Isa, sebagai pembenar dan pelengkap Taurat. Firman Allah : ”…Dan Kami telah memberikan kepadanya (Isa) injil yang berisi petunjuk dan nur, dan sebagai pembenar kitab yang sebelumnya yaitu Taurat, serta sebagai petunjuk dan pengajaran bagi orang-orang yang bertaqwa.” (QS : Al-Maidah : 46). Shuhuf (lembaran-lembaran) yang diturunkan kepada nabi Ibrahim dan Musa.
d.      Al-Quran, kitab yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala turunkan kepada Nabi Muhammad shalallohu ‘alahi wa sallam, penutup para nabi. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang artinya: ” Bulan Ramadhan yang diturunkan padanya (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi umat manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang haq dan yang batil…” (QS. Al Baqarah: 185).

4. Iman Kepada Rasul-Rasul
Kita mengimani bahwa Allah WT telah mengutus rasul-rasul kepada umat manusia, Firman Allah SWT, yang artinya:
”(Kami telah mengutus mereka) sebagai rasul-rasul pembawa berita genbira dan pemberi peringatan, supaya tiada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah (diutusnya) rasul-rasul itu. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa: 165).
Kita mengimani bahwa rasul pertama adalah nabi Nuh dan rasul terakhir adalah Nabi Muhammad shalallohu ‘alahi wa sallam, semoga shalawat dan salam sejahtera untuk mereka semua. Firman Allah SWT, yang artinya:
”Sesungguhnya Kami telahmewahyukan kepadamu sebagaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh dan nabi-nabi yang (datang) sesudahnya…” (QS. An-Nisa: 163).
5. Iman Kepada Hari Kiamat
Kita mengimani kebenaran hari akhirat, yaitu hari kiamat, yang tiada kehidupan lain sesudah hari tersebut. Untuk itu kita mengimani kebangkitan, yaitu dihidupannya semua mahkluk yang sesudah mati oleh Allah SWT. Firman Allah SWT, yang artinya:
”Dan ditiuuplah sangkakala, maka matilah siapa yang ada dilangit dan siapa yang ada di bumi kecuali yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi, maka tiba-tiba mereka bangkitmenunggu (putusannya masing-masing).” (QS. Az-Zumar: 6)
Kita mengimani adanya catatan-catatan amal yang diberikan kepada setiap manusia. Ada yang mengambilnya dengan tangan kanan dan ada yang mengambilnya dari belakang punggungnya dengan tangan kiri. Firman Allah SWT, yang artinya: “Adapun orang yang diberikan kitabnya dengan tangan kanannya, maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah dan dia akan kembali kepada kaumnya (yang sama-sama beriman) dengan gembira. Adapun orang yang diberikan kitabnya dari belakang punggungnya, maka dia akan berteriak celakalah aku dan dia akan masuk neraka yang menyala.” (QS. Al-Insyiqaq: 13-14).
6.      Iman Kepada Qada dan Qadar
Kita juga mengimani qadar (takdir) , yang baik dan yang buruk; yaitu ketentuan yang telah ditetapkan Allah untuk seluruh mahkluk-Nya sesuai dengan ilmu-Nya dan menurut hikmah kebijakan-Nya. Qada artinya ketetapan, sedangkan qadar artinya batasan atau ukuran (terbatas).[6] Supaya qodo dan qodar bermanfaat bagi seluruh makhluk yang diciptakan,maka Allah menentukan takdir ny. Takdir adalah hokum ketetapan perpaduan antara qodo dan qodar melahirkan takdir. Dalam setiap kejadian ada hukum ketetapan nya ada takdirnya.[7]
Iman kepada qadar ada empat tingkatan:
a. ‘Ilmu, ialah mengimani bahwa Allah Maha tahu atas segala sesuatu,mengetahui apa yang terjadi, dengan ilmu-Nya yang Azali dan abadi. Allah sama sekali tidak menjadi tahu setelah sebelumnya tidakmenjadi tahu dan sama sekali tidak lupa dengan apa yang dikehendaki.
b. Kitabah, ialah mengimani bahwa Allah telah mencatat di Lauh Mahfuzh apa yang terjadi sampai hari kiamat. Firman Allah SWT, yang artinya:
”Apakah kamu tidak mengetahui bahwa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi. sesungguhnya tu (semua) tertulis dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya Allah yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hajj: 70)
c. Masyi’ah, ialah mengimani bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala. telah menghendaki segala apa yang ada di langit dan di bumi, tiada sesuatupun yang terjadi tanpa dengan kehendak-Nya. Apa yang dikehendaki Allah itulah yang terjadi dan apa yang tidak dikehendaki Allah tidak akan terjadi.
d. Khal, ialah mengimani Allah Subhanahu Wa Ta’ala. adalah pencipta segala sesuatu. Firman Allah SWT, yang artinya:
”Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu. Hanya kepunyaan-Nyalah kunci-kunci (perbendaharaan) langit dan bumi.” (QS. Az-Zumar: 62-63).
Keempat tingkatan ini meliputi apa yang terjadi dari Allah SWT sendiri dan apa yang terjadi dari mahkluk. Maka segala apa yang dilakukan oleh mahkluk berupa ucapan, perbuatan atau tindakan meninggalkan, adalah diketahui, dicatat dan dikehendaki serta diciptakan oleh Allah SWT. Membicarakan Rukun Iman, mau tak mau kita harus masuk kedalam Tauhid, yang bagi sebagian orang tidak mau mempelajari, karena itu hanya hak Allah saja.
Iman atau keyakinan mempunyai tingkatan sebagai berikut:
Pertama: Yakin adanya Allah, karena mendengar kata orang, kata guru, bahkan kata burung, ini disebut "Ilmu ul Yaqin". Suatu keyakinan yang bersifat "imitasi". Shalat juga karena ikut-ikutan, tentu semua itu tidak akan berbekas.
Kedua : Yakin adanya Allah karena membaca Kitab, lalu diterjemahkan secara lahiriah. Dan melihat, mempelajari kepada alam terbentang sebagai ciptaan Tuhan.Kemudian mendapatkan rezeki dunia yang berkecukupan, maka diakuinyalah adanya Allah, ini disebut "Ainul Yaqin". Secara sosiologi, keyakinan demikian disebut pengaruh "sugesti". Semua sugesti, bila tidak digali dan dicari, maka hasilnya juga nihil. Pada tingkat ini, apa yang akan terjadi atas dirinya sewaktu hari berbangkit, tidaklah dia akan mengerti. Oleh sebab itu kepuasan bathin belumlah berhenti sampai disitu.
Ketiga : Yakin adanya Allah, karena merasakan kehadiran Allah ada bersamanya. Dan sering mengadakan renungan seperti Nabi saw memasuki Gua Hira di bukit Jabbar Nur. Atau seperti yang dilakukan oleh pemuda-pemuda sebelum memasuki Gua Khafi, ini disebut "Haqqul Yaqin". Pada tingkat ini terjadilah suatu pemahaman kehadiran Allah bersamanya, yang disebut juga "Simpati". Mulailah berbicara mata bathin, Penglihatan disini masih disebut bathin yang lahir. Namun pengetahuan terhadap hari berbangkit atas dirinya sudah mulai terasa dan terbaca.
Keempat : Yakin adanya Allah, sebab sudah dibuktikan dan disaksikan. Dan terasa nikmatnya berhubungan dengan Yang Maha Terang (Tuhan yang menciptakan langit dan bumi), lalu beriman kepada Tuhan, ini disebut "Isbat ul Yaqin". Identifikasi dalam suatu kenyataan, terjadi atas desakan (fakir) dari dalam, sehingga mencapai "kepastian melalui pembuktian". Cabang-cabang iman bermacam-macam, jumlahnya banyak, lebih dari 72 cabang. Dalam hadits lain disebutkan bahwa cabang-cabangnya lebih dari 70 buah. Cabanng iman menurut Muslim dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu, Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda:
"Iman itu tujuh puluh cabang lebih atau enam puluh cabang lebih; yang paling utama adalah ucapan "La Ilaha illallahu" dan yang paling rendah adalah menyingkirkan rintangan (kotoran) dari tengah jalan, sedangkan rasa malu itu (juga) salah satu cabang dari iman." (HR. Muslim, I/63)
Pada buku M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat, hal. 27; Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi'lib Al Yamani:
"Apakah Anda pernah melihat Tuhan?". Beliau menjawab, "Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?". "Bagaimana Anda melihant-Nya?", tanyanya kembali. Imam Ali menjawab, "Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangannya yang kasat mata, tapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan....."  
QS. Yunus (10) : 57 :
"Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu (dalam Al Qur-an) pelajaran dari Rabbmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman". (QS. Yunus (10) : 57).
Bila masih ada keraguan, tidak terlalu yakin atau takut dan was-was, berarti belum beriman tapi baru berislam, belum menjadi orang Mukmin, tapi baru menjadi seorang Muslim. Iman, Membuka Ruang Hati Lebih luas Dunia – Akhirat. Iman membuka wawasan dan kesadaran manusia bahwa dirinya berasal dari Allah SWT dan akan kembali kepada-Nya. Ia menyadari bahwa dalam kehidupannya di dunia terkandung maksud tertentu dan perilakunya terkait pada konsekuensi di dunia-akhirat. Iman melapangkan kehidupan dan pikiran manusia dari dunia hingga ke akhirat. Pertumbuannya bagai remaja yang berangkat matang dan semakin bertanggung jawab membuka ruang hidupnya sampai ke masa tua. Ia memiliki semangat kerja keras, mempersiapkan hari tuanya. Demikian pula kesadaran seseorang akan ruang hidup akhirat, mendorong semangat ibadah dalam rangka untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan akhirat.
Kehidupan manusia merupakan rangkaian panjang peristiwa dan pengalaman. Semakin bertambah umur semakin banyak peristiwa dan pengalaman yang dilaluinya. Manusia selalu merefleksikan peristiwa dan pengalaman hidupnya ke masa depan, baik dalam kadar yang lemah maupun kuat. Jika ruang hidup manusia hanya duniawi, maka refleksi atas peristiwa dan pengalaman hidupnya hanya sebatas di dunia. Sebaliknya jika, manusia memiliki ruang hidup akhirat, ia akan merefleksikan kehidupannya sampai ke akhirat. Iman akan menentukan bangunan niat kita. Apakah bangunan rendah hanya setingkat dunia atau gedung pencakar langit yang menembus akherat. Dalam dunia pendidikan niat itu mendasari motivasi yang sangat menentukan perilaku. Tinggi rendahnya sukses dalam belajar bergatung pada kuat lemahnya harapan yang tertanam sedari awal memulai suatu proses. 
Hubungan antara niat dan perilaku ini dijelaskan dalam Hadits Rasulullah SAW, “Sesungguhnya setiap amal itu bagaimana niatnya. Dan bahwasanya setiap orang itu bergantung pada niatnya. Barang siapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya itu akan sampai kepada Allah dan Rasul-nya. Barang siapa yang berhijrah karena perniagaan yang diusahakannya atau wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu akan sampai kepada apa yang ia niatkan.”
Perkataan ‘Syahadat’ menunjukkan bahwa iman harus dengan ucapan di lisan. Menyingkirkan duri dari jalan menunjukkan bahwa iman harus dengan amalan anggota badan. Sedangkan sifat malu menunjukkan bahwa iman harus dengan keyakinan dalam hati, karena sifat malu itu di hati. Inilah dalil yang menunjukkan bahwa iman yang benar hanyalah jika terdapat tiga komponen di dalamnya yaitu (1) keyakinan dalam hati, (2) ucapan di lisan, dan (3) amalan dengan anggota badan. Maka tanpa adanya amalan, meskipun ada keyakinan dan ucapan, tidaklah disebut beriman.
Dalam Jami’ al-Ushul fi al-Auliya’, hlm. 331 disebutkan bahwa iman memiliki karakter sesuai dengan makhluk yang memilikinya. Ada iman yang tetap, ada pula yang terus bertambah. Ada yang kadang berkurang, kadang juga bertambah. Ada pula yang didiamkan, dan ada pula yang imannya ditolak.
1. Golongan yang imannya bersifat tetap, tidak bertambah dan tidak berkurang adalah karakter iman para malaikat.
2. Golongan yang imannya terus bertambah adalah iman orang-orang yang dijaga dari kesalahan (ma’shum), yaitu para nabi dan rasul.
3. Golongan yang memiliki karakter iman yang dapat berkurang karena maksiat, dan dapat bertambah karena taat. Golongan ini adalah orang-orang mukmin.
4. Golongan yang imannya didiamkan dalam artian iman mereka tidak akan benar selama kemunafikan masih ada dalam hati mereka. Golongan ini adalah orang-orang munafik.
5. Golongan yang imannya ditolak, mereka adalah golongan orang-orang kafir.
Orang-orang mukmin yang manta iman nya hanyalah mereka yang membuktikan pengakuan iman mereka denga perkataan dan perbuatan. Iman yang kamil terhujam mantap dalam hati. Iman yang ada dalam hati dapat berubah-ubah atau berkurang tergantung dalam amal perbuatannya. Agar iman dalam hati sempurna perlu didukung oelh ilmu yang benar agar perbuatan tidak menyimpang dari aturan system Allah yang menjadi sentral keimanan seseorang.
Ciri-ciri mukmin sejati yang iman nya sempurna yaitu mereasa gemetar hatinya ketika mengingat Allah,bertambah iman nya ketika dibacakan ayat-ayat Allah,dan bertawakal kepada Allah. Hati gemetar,karena dampak iman yang menimbulkan rasa takut ketika ingat perintah dan larangan Allah, karena sadar akan kekuasaanNya.[8] Sifat orang mukmin itu takut kepada Allah lalu mendirikan sholat dan menafkankan rezekinya dijalan Allah. Demikian pula jika dibacakan kepada mereka ayat – ayat Allah maka bertambah iman mereka. Keimanan seseorang bertambah ketika merasa dekat dengan Allah.[9]
Tahap pertama, dari proses masuknya iman yaitu adanya gejolak hati. Terjadi karena takut  akibat membayangkan siksa allah atau karena mengingat rahmat kasih sayang Allah.
Tahap kedua, yaitu berzikir dzikir pada mulanya berarti mengucapkan dengan lidah kemudian berkembang menjadi mengingat.karena ketika mengingat sesuatu sering kali mengantar lidah untuk menyebutnya, yaitu menyebut nama allah. Maka teringatlah sifat – sifat yang berkaitan dengan –Nya.
Tahap ketiga, terjadi kemantapan iman dalam diri seseorang. Dalam banyak hal seseorang telah percaya tetapi merasa kurang mantap karena belum mengetahuinya. Oleh karena itu orang mukmin yang gemetar hatinya lalu bertambah imannya ketika mendengar atau membaca ayat – ayat alquran, jika mereka memahami isi dari yang dibacanya. Keimanan yang bertambah atau berkurang itu dapat dibuktikan oleh amal perbuatan seseorang dalam surat Al-Imron:173. Iman orang mukmin itu bertambah dan berkurang walaupun dilihat dan dialaminya berupa ujian seperti yang terkandung dalam surat Al-Ahzab : 22. Keimanan yang benar menimbulkan ketenangan hati orang – orang mukmin. Keimanan terus bertambah disamping keimanan yang telah ada. Bagi orang beriman cobaan – cobaanpun dapat menambah keimanan sehingga tidak ada lagi keraguan, seperti yang terkandung dalam surat Al-Muddatsir:31.[10]


B.     Kandungan Surat Al-Baqoroh Ayat 156 Mengenai Iman
Q.S. Al-Baqoroh Ayat 156
الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (١٥٦(
Artinya : “(Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Innā lillāhi wa innā ilayɦi rāji’ŭn” (sesungguhnya kita semua milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kita semua akan kembali.”[11]
                Pada ayat diatas menjelaskan bahwa kalimat Innā lillāhi wa innā ilayɦi rāji’ŭn” bukan hanya diucapkan ketika mendengar kabar orang meninggal saja seperti kebanyakan orang saaat ini yang memahami bahwa kalimat tersebut hanya diucapkan ketika ada orang yang meninggal dunia, namun pada ayat diatas menerangkan bahwa pengucapan kalimat Innā lillāhi wa innā ilayɦi rāji’ŭn” diucapkan apabila ditimpa musibah.
Dalam ayat diatas menyebutkan bahwa setiap orang yang beriman pasti akan selalu mengucapkan lafadz Innā lillāhi wa innā ilayɦi rāji’ŭn”, dimana kalimat ini dinamakan kalimat tarji’ atau istirja’ (pernyataan kembali kepada Allah). Umat Islam mempercayai bahwa Allah adalah Esa yang memberikan dan Dia jugalah yang mengambil, Dia menguji umat manusia. Oleh karenanya, umat Islam menyerahkan diri kepada Tuhan dan bersyukur kepada Tuhan atas segala yang mereka terima. Pada masa yang sama, mereka bersabar dan menyebut ungkapan ini saat menerima cobaan atau musibah.
Penjabaran mengenai surat Al-Baqoroh ayat 156 sebagai berikut :
1.      Penggunaan kata الَّذ ينَ (orang-orang yang) di awal ayat ini menunjukkan bahwa kandungan ayat ini merupakan jabaran dari kata الصَّابِرِينَ ( orang-orang yang sabar) yang menutup ayat sebelumnya (155). Yakni bahwa ciri utama orang sabar itu ialah apabila suatu musibah menimpanya maka dia kembali kepada prinsip ma’rifah (pengenalan batin) dan syuhudi (penyaksian batin)-nya kepada seluruh realitas; bahwa semua yang ada ini (yang terinderai ataupun yang tidak) merupakan jelmaan dari Diri Allah SWT. Itu sebabnya, bagi الصَّابِرِينَ (ash-shābirĭn, orang-orang yang sabar), semua kejadian, semua musibah, selalu mencerminkan keberadaan-Nya. Sehingga tidak ada musibah—seberat apapun menurut ukuran manusia biasa—yang membuatnya menyerah.

2.      Dalam pengertiannya yang paling dasar, kata مُّصِيبَةٌ (mushĭbah) berarti “sesuatu yang menimpa”. Berasal dari akar kata ) صابshāba) yang berarti “poured” (tertuang, tercurah) atau “teeming” (padat, sesak), atau صوب )sha-wa-ba) yang berarti sight (terlihat, pemandangan), shoot (memanah, menembak), range (jangkauan, cakupan, kisaran), dan shine (menembakkan, menyorotkan)—kedua pengertian ini diambil dari LingvoSoft Online Dictionaries (www.lingvozone.com). Dari sini nanti muncul kata الصيب (ash-shayyib, hujan lebat) seperti dalam ayat أَوْ كَصَيِّبٍ مِّنَ السَّمَاءِ [aw kshayyibin minas-samāi, atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit. (2:19)], dan kata صوابا (shawāba, perkataan yang benar) seperti dalam ayat وَقَالَ صَوَاباً [wa qāla shawāba,dan dia mengucapkan perkataan yang benar (78:38)]. Dari akar kata ini pula lahir bentuk kata selanjutnya: اصاب (a-shā-ba) yang—menurut Kamus al-Munawwir—diantara artinya ialah “tepat, benar, memperoleh, menimpa, mendapatkan”; seperti dalam ayat مَّا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفْسِكَ [mā ishābaka min hasanatin faminallaāɦi wa ma ishābaka min sayyiatin famin nafsika, kebaikan apa saja yang menimpamu maka itu dari Allah, dan keburukan apa saja yang menimpamu maka itu dari (kesalahan) dirimu sendiri (4:79)]. Jikalau kita rangkai semuanya, maka kata مُّصِيبَةٌ (mushĭbah) bisa berarti “sesuatu yang datang tercurah bagai hujan lebat atau bagai tembakan dengan presisi yang benar, menimpa orang yang tepat dalam kisaran peristiwa yang padat, sehingga kejadiannya menjadi pemandangan yang menimbulkan rasa takut dan dampak negatif lainnya seperti kelaparan, kekurangan harta, kematian, dan kehabisan bahan pangan”. Dalam Bahasa Inggeris مُّصِيبَةٌ (mushĭbah) itu disebut: “misfortune (kemalangan), disaster (bencana), calamity (malapetaka), adversity (kesulitan), scourge (penderitaan), affliction (kesengsaraan), catastrophe (kehancuran, kekacauan), tribulation (kesusahan), trial (ujian, cobaan), ordeal  (siksaan), woe (duka, nestapa), distress (kesulitan), blow (pukulan berat)”. Itu sebabnya al-Mu’jam al-Wasĭth mendefenisikan kata مُّصِيبَةٌ (mushĭbah) ini dengan: كل مكروه يحل بالانسان (kullu makrŭɦin yahullu bil-insān, setiap kesulitan yang mendera manusia). “Tiada suatu musibah yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (57:22).

3.      Seberat apapun musibah itu, bagi orang sabar, itu adalah momentum yang tepat untuk melisankan kandungan hatinya, simpul perjalanan ruhaninya: إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّـا إِلَيْهِ رَاجِعونَ (innā lillāɦi wa innā ilayɦi rāji’ŭn, sesungguhnya kita semua milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya (jua)-lah kita semua akan kembali). Secara ortografi (cara penulisan), kata لِلّهِ (lillāɦi, milik Allah) berasal dari kata اللّه (Allāɦ) juga yang dihilangkan huruf ا (alif)-nya sehingga walaupun sesungguhnya ada sesuatu yang “masuk” di sana—yaitu huruf لِ (li, milik)—tetapi tulisannya justru menjadi utuh dan kompak. Menurut ilmu isyarat, ini menunjukkan bahwa Allah dan apa-apa yang dimiliki-Nya tidak pernah berpisah. Keduanya (Allah dan milik-Nya) utuh dan kompak, sinkron dan integral. Dan, memang, keadaan inilah yang bisa diterima oleh akal (rasio) dan hati (rasa). Kalau kita mengandaikan Allah itu “berpisah” dengan makhluk-Nya, berarti kita juga mengandaikan bahwa Allah itu berada di suatu posisi ruang-waktu tertentu sebagaimana makhluk-Nya berada di suatu posisi ruang-waktu tertentu yang lain, kemudian di antara keduanya pasti ada “jarak” ruang-waktu tertentu lagi. Sehingga, dengan begitu, di sana kita menyadari adanya tiga macam entitas: Allah, makhluk, dan jarak (antara keduanya). 

4.      Itu ketika al-Qur’an bicara soal Allah. Tetapi ketika bicara soal manusia, al-Qur’an menggunakan kata إِلَيْهِ (ilayɦi, kepada-Nya). Dalam tulisan ini ada dua komponen yang jelas terlihat: kata depan إِلَي (ilā, ke atau kepada) dan kata ganti هِ (ɦi, Nya, Dia). Kata إِلَي (ilā, ke atau kepada) menunjukkan adanya ghāyah (tujuan) yang hendak dicapai, dan ghāyah (tujuan) itu sendiri ialah Allah yang diganti dengan dlamĭr (kata ganti) هِ (ɦi, Nya, Dia) tadi. Secara awam, manakala ada ghāyah (tujuan) berarti ada dua hal yang terpisah: sesuatu yang bergerak menuju ke tujuan, dan tujuan itu sendiri. Dalam konteks ayat 156 ini, sesuatu itu ialah kita manusia, dan tujuan itu ialah Allah. Sehingga, dengan begitu, dari sisi kita manusia—beda dengan dari sisi Allah seperti telah diterangkan di poin sebelumnya—seakan-akan ada ‘jarak’ dengan Allah. ‘Jarak’ itu adalah jarak kesadaran, karena pada hakikatnya secara eksistensial “jarak” itu sesungguhnya tidak ada. ‘Jarak’ ini berbeda bagi setiap orang. Jauh dekatnya tergantung pada jenjang perjalanan ruhani kita masing-masing dalam hal ma’rifah dan syuhidi. Dengan pengertian ini, maka bagi orang sabar, setiap ada مُّصِيبَةٌ (mushĭbah) selalu menjadi kesempatan berharga baginya untuk memperpendek ‘jarak’ perjalanan tersebut; dan artinya semakin mendekatkan dirinya kepada Dzat Yang Mahasempurna. Perjalanan itulah yang disebut رَاجِعونَ (rāji’ŭn, kembali). Disebut demikian karena perjalanan ruhani adalah perjalanan kembali ke Asal. Dan karenanya ucapan إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّـا إِلَيْهِ رَاجِعونَ (innā lillāɦi wa innā ilayɦi rāji’ŭn) disebut istirja’.
5.      Di dalam Tafsir Jalalain dikutipkan sebuah hadits bahwa, “Barang siapa yang istirja’ (mengucapkan innā lillāɦi wa innā ilayɦi rāji’ŭn) ketika mendapat musibah, maka ia diberi pahala oleh Allah dan diiringi-Nya dengan kebaikan.” Juga diberitakan bahwa pada suatu ketika lampu Nabi saw padam, maka beliau pun mengucapkan istirja’, lalu kata Aisyah, “Bukankah ini hanya sebuah lampu!” Beliau menjawab: “Setiap yang mengecewakan (hati) orang mukmin itu berarti musibah.” Diriwayatkan oleh Abu Daud dalam kumpulan hadis-hadis mursalnya.[12]
Adapun penjelasan singkat mengenai surat Al-Baqoroh ayat 156 :
1.      (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah. Musibah adalah semua yang membuat hati, badan atau kedua-duanya terasa sakit atau pedih.
2.      mereka berkata : "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun" Sesungguhnya Kami adalah milik Allah, Maksudnya: kita milik Allah, di bawah pengaturan dan tindakan-Nya, Dia berbuat kepada milik-Nya apa yang Dia kehendaki, kita tidak memiliki apa-apa terhadap jiwa dan harta sedikit pun. Oleh karena itu, jika Dia menimpakan ujian kepada kita, maka sesungguhnya itu merupakan tindakan dari Yang Maha Penyayang kepada milik-Nya, maka tidak boleh diprotes. Bahkan termasuk sempurnanya pengabdian seorang hamba adalah dia merasakan bahwa musibah yang menimpanya berasal dari Pemilik dirinya, Tuhan yang Maha Bijaksana yang lebih sayang kepada dirinya daripada sayangnya seorang hamba kepada dirinya sendiri. Oleh karena itu, sikap yang harus dilakukan adalah ridha, bersyukur karena diatur oleh-Nya kepada hal yang lebih baik bagi dirinya meskipun ia tidak menyadari.
3.      Dan kepada-Nya-lah Kami kembali, Di samping kita sebagai milik-Nya, kita juga akan kembali kepada-Nya pada hari kiamat, lalu masing-masing akan diberi balasan sesuai amalnya. Jika kita bersabar dan mengharap pahala dari Allah Subhaanahu wa Ta'aala, maka kita akan mendapatkan pahala secara penuh di sisi-Nya, sedangkan jika kita berkeluh kesah, maka tidak ada yang kita peroleh selain keluh kesah, musibah dan hilangnya pahala. Memahaminya seorang hamba bahwa dirinya adalah milik Allah dan akan kembali kepada-Nya merupakan sebab terkuat untuk memperoleh kesabaran.[13]
Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa kandungan surat Al-Baqoroh ayat 156 mengenai iman yaitu keyakinan bahwa segala sesuatu itu berasal dari Allah dan pasti akan kembali kepada Allah, karena Allah yang telah memberikan segala sesuatu itu kepada kita sebagai hamba-Nya. Sehingga keyakinan tersebut akan menumbuhkan sikap tawakal dan menjadikan diri kita sebagai peribadi yang selalu sabar dalam menghadapi segala bentuk cobaaan atau musibah.
Dengan demikian, seseorang yang selalu sabar, ikhlas dan tawakal kepada Allah pasti memiliki keimanan yang semakin kuat, karena keyakinannya terhadap segala sesuatu itu selalu dipahami sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah SWT.




BAB III
PENUTUP


A.    KESIMPULAN
Iman bearti percaya, yaitu mengucapkan dengan lisan, membenarkan dengan hati dan disertai amal perbuatan, iman merupakan pondasi utama bagi seorang muslim karena dengan adanya iman yang kuat maka seorang muslim akan selalu berada dijalan yang Allah ridhoi. Dan pokok iman ialah mengimani rukun iman yang enam, yaitu iman kepada Allah, iman kepada malaikat Allah, iman kepada kitab-kitab Allah, iman kepada Rasul Allah, iman kepada hari akhir dan iman kepada qada dan qodar.
Kandungan surat Al-Baqoroh ayat 156 mengenai iman yaitu meyakini bahwa segala sesuatu itu datang dari Allah dan akan kembali kepada-Nya, dan selalu mengucapkan kalimat istirja’ ketika mendapatkan suatu musibah dari Allah bukan hanya diucapkan ketika ada orang yang meninggal. Dengan mengucapkan dan memahami kalimat istirja’ maka seorang mukmin akan selalu bersabar dalam menerima segala macam bentuk musibah, dengan kata lain keimanan yang terkandung dalam surat diatas melahirkan kesabaran.
B.     SARAN
Kami sebagai penyusun  makalah ini sangat menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, baik dalam segi penulisan, bahasa dan sebagainya. Maka dari itu kami mengharapkan saran yang membangun dari Bapak Supriyatmoko selaku dosen dan para pembaca, supaya kedepannya kami bisa lebih baik lagi dalam penyusunan makalah.



DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Ali, Kitab Tauhid li Shaff Ats Tsaani Al ‘Aali, Yogyakarta : Bumi Aksara, 1995.
Fazlur Rahman, Tema Pokok AL-QUR’AN, Bandung:pustaka,1996.
Deden Makbuloh, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah : Al-‘Aliyy, Bandung : Diponegoro, 2006.
Ibnu Hajar Asqalani, Fathul Baari Syarhu Shahih Al-Bukhari, Semarang : Ar-Ridho, 1999.
M. Fu’ad Abdul Baqi, Al-Lu’lu’ Wal Marjan, Semarang : Al-Rido,1993.

Muhammad Rasyid Ridho, Tafsir Al-Manar, Jilid 7, Beirud:Dar Al-Fikr,t.t.

Sayyid Quthb, Fi Dzilal Al-Qur’an, Juz 25, Al-Arabiy Dar Al-Ihya Al-Kitab, t.t.


Tafsir Al-Qur’an, (On-Line), http://www.tafsir.web.id/2013/01/tafsir-al-baqarah/, 2016.





[1]Ahmad Ali, Kitab Tauhid li Shaff Ats Tsaani Al ‘Aali, (Yogyakarta : Bumi Aksara, 1995), h. 9.
[2]M. Fu’ad Abdul Baqi, Al-Lu’lu’ Wal Marjan, (Semarang : Al-Rido,1993), h.10.
[3] Ibnu Hajar Asqalani, Fathul Baari Syarhu Shahih Al-Bukhari, (Semarang : Ar-Ridho, 1999), h. 60.
[4] Deden Makbuloh, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2011), h. 89.
[5] Sayyid Quthb, Fi Dzilal Al-Qur’an, Juz 25, (Al-Arabiy Dar Al-Ihya Al-Kitab, t.t), h. 124.
[6] Fazlur Rahman,Tema Pokok AL-QUR’AN,(Bandung:Pustaka,1996), h.98
[7] Deden Makbuloh,Op. Cit., h.111
[8] Muhammad Rasyid Ridho, Tafsir Al-Manar, Jilid 7, (Beirud:Dar Al-Fikr,t.t.), h. 589.
[9] Deden Makbuloh, Op. Cit., h. 96.
[10] Ibid, h. 100.
[11] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah : Al-‘Aliyy, (Bandung : Diponegoro, 2006), h. 18.
[12]“Tafsir Al-Qur’an” (On-Line), dikutip dari http://www.tafsir-albarru.com/tafsir-alquran/tafsir-al-baqarah/al-baqarah-ayat-156/, 2016.
[13]“Tafsir Al-Qur’an”, (On-Line), dikutip dari http://www.tafsir.web.id/2013/01/tafsir-al-baqarah/, 2016.

1 komentar:

  1. Baccarat | The #1 Sportsbook for Beginners | The Borgata
    The Borgata choegocasino Poker Room features regular table games 바카라 such as American Roulette, Three Card Poker, Baccarat, Poker, and deccasino a live table poker game.

    BalasHapus